SANCAnews.id – Tiga tahun berturut-turut mulai 2019, Presiden
Jokowi bangga sekali. Lantaran berhasil tak impor beras. Tapi kini, kebanggaan
Jokowi itu tenggelam. Akhir tahun ini, kemungkinan impor beras 200 ribu ton.
Guru Besar IPB University
sekaligus Ketua Umum Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia, Dwi
Andreas Santosa menyebut, keputusan impor beras melukai hati petani. Empat
bulan sebelumnya, petani merugi karena rendahnya harga gabah kering panen.
“Keputusan tersebut menyakitkan
petani, karena empat bulan berturut-turut, harga gabah kering panen di bawah
HPP (harga pembelian pemerintah). Kenapa di saat itu tidak menyerap
sebesar-besarnya. Baru sekarang ada wacana impor beras, dan itu diamini
teman-teman di pemerintahan semuanya. Itu kan kacau,” ujar Andreas, Jakarta,
Senin (12/12/2022).
Harga pembelian pemerintah (HPP),
menurut Andreas, diputuskan pemerintah dengan tujuan melindungi petani. Di
mana, Perum Bulog tidak boleh menyerap beras dari petani,, ketika harganya di
atas HPP.
Berdasarkan data Badan Pusat
Statistik (BPS), produksi beras nasional pada 2019 hingga 2021 di atas konsumsi
beras nasional yang mencapai 30 juta ton. Angka tepatnya produksi beras 2019
hingga 2021, masing-masing 31,3 juta ton. Artinya, ada kelebihan alias surplus
1,3 juta ton.
Akhir tahun ini, pemerintah
merencanakan impor 200 ribu ton, atau di bawah kuota izin impor yang diberikan
Kementerian Perdagangan (Kemendag) kepada Perum Bulog, sebanyak 500 ribu ton.
Rencananya, beras impor sebanyak 200 ribu ton itu, digunakan untuk menutup
kekurangan cadangan beras pemerintah (CBP).
Asal tahu saja, Indonesia
terakhir kali impor beras pada 2018 sebanyak 1,8 juta ton. Sejatinya, BPS
mencatat Indonesia masih surplus beras sebanyak 1,7 juta ton pada 2022. Hanya
saja, beras itu bukan berada di gudang Perum Bulog. Namun tersebar di
masyarakat. Porsi terbesar berada di rumah tangga, terendah di penggilingan dan
pedagang.
Anggota Komisi IV DPR, Johan
Rosihan melontarkan kritik kleras atas keputusan impor beras. Menurutnya, impor
beras jelas mempermalukan pemerintahan Jokowi. Selama ini, Jokowi selalu
gembar-gembor tentang ketahanan pangan. Salah satunya menyangkut kemandirian
pangan. Konsekuensinya, beras sebagai komoditas strategis seharusnya dijaga
agar tidak impor.
“Saya sendiri belum menemukan
alasan yang tepat terkait wacana impor beras. Ini jelas-jelas menciderai
kedaulatan pangan nasional,” ungkapnya..
Impor beras, menurut kader PKS
ini, jelas-jelas bertentangan dengan ucapan Presiden Jokowi. Berulang-ulang,
Presiden Jokowi menyatakan tidak impor beras.
“Ada data BPS yang sepakati
sebagai acuan bersama, menyatakan kita surplus (beras) 1,7 juta ton. Tetapi
setelah dikonfirmasi, dicek di lapangan oleh Perum Bulog. Katanya, barang tidak
ada. Ini bagaimana,” paparnya.
Dia mengatakan, kementerian serta
seluruh lembaga terkait beras, harus mendalami masalah validasi data beras
nasional. Hal ini penting sebagai pijakan dalam menentukan kebijakan beras.
“Kami ingin mendalami persoalan ini. Ini masalahnya barang tidak ada atau data
yang tidak cocok. Harus kita dalami dulu,” tandasnya.
Sebelum semuanya clear, Johan
mengingatkan agar Perum Bulog, tidak terlalu bernafsu mengimpor beras. Apakah
memang ada surplus beras sebanyak 1,7 juta ton, lalu barangnya ada di mana?
Atau memang ada ketidakcocokan data antar kementerian dengan lembaga terkait
perberasan nasional. “Kalau misalnya barang ada, tidak cocok harga, kenapa kita
punya uang untuk impor? Akan tetapi tidak punya uang ketika akan beli beras
petani. Ini kacau,” ungkapnya.
Kali ini, Johan benar. Apapun
alasannya, impor beras itu melukai hati petani. Serta mempermalukan Presiden
Jokowi yang dikenal pro petani serta tidak suka produk impor. Dengan kata lain
untuk menyelamatkan muka Jokowi. Bisa jadi, Indonesia memang surplus beras,
namun barangnya ada yang simpan. Entan siapa, harus dicari. (inilah)