SANCAnews.id – Ramai pemberitaan
Wakil Ketua Komisi III DPR, Desmond J Mahesa digeruduk Kader PDIP Purworejo di
sebuah rumah makan. Ia dituduh menghina Bung Karno dan Megawati Soekarno Putri
terkait usulan negara meminta maaf kepada Sukarno.
Menurut Desmond, meminta maaf
kepada keluarga Bung Karno hanya akan memenuhi ego dari keluarga Sukarno.
"Jadi melaksanakan maunya Megawati habis itu negara minta maaf lagi sama
Sukarno, memang Sukarno tidak bermasalah?" katanya.
Namun, saat ini Desmond sudah
meminta maaf atas pernyataannya tersebut. Berikut profil dan sepak terjang dari
Desmond J Mahesa.
Desmond lahir di Banjarmasin,
Kalimantan SelatanTanggal Lahir, Minggu, 12 Desember 1965. Ia dikenal publik
sejak menjadi salah satu korban penculikan aktivis pro demokrasi di tahun
1997/1998.
Ia menjadi salah satu dari 9
orang aktivis yang beruntung karena dibebaskan atas desakan masyarakat luas.
Namun, ada 14 orang rekannya yang sampai saat ini masih tak diketahui
keberadaannya. Saat itu, Desmond menjabat
sebagai direktur Lembaga Bantuan Hukum Nusantara (LBHN) Jakarta ketika diculik.
Di era Reformasi, Desmond menjadi
pengacara profesional dengan berbagai kasus besar seperti menangani konglomerat
Eka Cipta Wijaya dan penyerangan kantor Majalah Tempo sebagai pembela Tommy
Winata. Ia sempat menjadi pengacara mantan Komandan Komando Pasukan Khusus
(Kopassus) Muchdi Purwoprandjono dalam kasus Munir.
Untuk pendidikan S1, Desmond
menempuh kuliah di Fakultas Hukum Universitas Lambang Mangkurat dan
menyelesaikan S2 di STIH IBLAM Jakarta.
Selanjutnya, Desmond bergabung
dengan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Saat ini, menjabat wakil ketua
komisi III DPR dengan menjadi wakil dari daerah pemilihan (dapil) Banten II. Ia
mengantongi 103.837 suara dan menjadi Juara Dapil pada Pemilu Legislatif 2019.
Sebelumnya pada Pemilu Legislatif
2014, Desmond mengantongi 61.275 suara dari daerah pemilihan ( dapil ) Banten
II dan pada Pemilu Legislatif 2009 mengantongi 13.439 suara dari dapil
Kalimantan Timur.
Sebelumnya, Sejarawan dari
Universitas Nasional, Jakarta, Andi Achdian menyebut negara layak menyampaikan
permintaan maaf atas perlakuan buruk yang dilakukan Suharto dan rezimnya Orde
Baru, kepada Sukarno dan keluarganya.
“Permintaan maaf itu sebagai
jendela untuk membuka wacana sejarah yang sudah terbentuk selama beberapa
dekade di bawah Orde Baru,” kata Achdian, Rabu (09/11).
“Itu sebagai pintu masuk untuk
membuka dialog tentang apa yang terjadi di tahun 60-an dan pelanggaran HAM yang
terjadi saat itu.
“Melalui maaf itu juga akan
membebaskan kita dari trauma dan meluruskan sejarah masa lalu tentang G30S,”
ujarnya.
Salah satu perlakuan buruk
terhadap Sukarno, menurut Achdian, adalah pengambilalihan kekuasaan secara
tidak resmi melalui Ketetapan MPRS XXIII tahun 1967 lalu kemudian menjadikannya
sebagai tahanan politik.
Dalam kepemimpinan Rezim Orde Baru, Achdian mengatakan, pemerintah membangun narasi sejarah secara resmi yang mendelegitimasi posisi Sukarno sebagai pendiri bangsa dan pahlawan nasional. Sukarno tidak pernah tampil sebagai satu pribadi mandiri yang berjasa bagi Indonesia, ujar Achdian.
Sedangkan, Ketua DPP PDI-P Ahmad
Basarah mengatakan, permintaah maaf merupakan bagian dari tanggung jawab moral
dalam berbangsa dan bernegara. Hal itu bertujuan untuk mengajarkan generasi
selanjutnya agar terus menghormati jasa para pahlawan, terutama pendiri
bangsa.
Ia mengatakan segala tuduhan
kepada Sukarno dalam G30S tidak pernah terbukti hingga sekarang. Menurutnya,
salah satu perlakuan tidak adil yang diterima Sukarno adalah melalui Ketetapan
MPRS Nomor 30 tahun 1967 tentang Pencabutan Kekuasaan Pemerintahan Negara dari
Presiden Soekarno.
Pada Pasal 3 TAP MPRS tersebut,
secara tegas melarang Sukarno untuk melakukan aktivitas politik apa pun sampai
dengan pelaksanaan pemilu selanjutnya.
Sukarno juga dituduh membuat
kebijakan yang dianggap berpihak pada tokoh-tokoh PKI, yang tertuang dalam bab
pertimbangan TAP MPRS tersebut.
Pada 2017 lalu di acara
peringatan wafat Bung Karno di Gedung MPR, putri Sukarno yang juga Ketua Umum
PDI-P, Megawati Soekarnoputri menceritakan momen yang dialami saat ayahnya
dilengserkan dan dituding mendukung serta melindungi pemberontakan terhadap
negara.
"Karena memang politik, ada
sebuah proses de-Sukarnoisasi. Apa yang berbau Bung Karno harus ditenggelamkan.
Foto saja mesti diturunkan, kalau tidak, tidak bisa makan," kata Mega
dikutip dari Detik.com.
Sebelumnya, Presiden Joko Widodo
menegaskan kembali bahwa Sukarno merupakan pahlawan nasional dan Ketetapan MPRS
XXXIII tahun 1967 telah dinyatakan tidak berlaku melalui Ketetapan MPR Nomor 1
tahun 2003.
“Perlu kami tegaskan bahwa
ketetapan MPR Nomor 1/MPR/2003 menyatakan bahwa TAP MPRS Nomor XXXIII sebagai
kelompok ketetapan MPRS yang dinyatakan tidak berlaku lagi, dan tidak perlu
dilakukan tindakan hukum lebih lanjut,” katanya saat memberikan keterangan
perihal penganugerahan gelar pahlawan nasional, Senin (07/11).
“Baik karena bersifat final,
telah dicabut, maupun telah dilaksanakan. Di tahun 1986 Pemerintah telah
menganugerahkan pahlawan proklamator kepada Sukarno. Dan tahun 2012, pemerintah
juga telah menganugerahkan gelar pahlawan nasional kepada almarhum Sukarno,”
kata Jokowi.
Berdasarkan keputusan tersebut,
tambah Jokowi, Sukarno telah dinyatakan memenuhi syarat setia, dan tidak
menghinanati bangsa dan negara yang merupakan syarat penganugerahan gelar
kepahlawanan. (suara)