SANCAnews.id – DPR RI akan mengesahkan Rancangan Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) pada akhir tahun 2022.
Rencana pengesahan itu menuai
berbagai penolakan dari sejumlah elemen masyarakat sipil, salah satunya Badan
Eksekutif Mahasiswa (BEM) Universitas Indonesia (UI).
BEM UI dengan tegas menolak
pengesahan RKUHP dalam waktu dekat ini. Sebab, masih banyak pasal bermasalah
dalam RKUHP tersebut.
"Jokowi jahat, jika
membiarkan RKUHP bermasalah disahkan," tulis BEM UI melalui akun
Twitternya, dikutip pada Jumat (25/11/2022).
Dalam siaran persnya, BEM UI
menilai bahwa dalam draf RKUHP masih memuat pasal-pasal bermasalah yang justru
merekolonialisasi hukum pidana Indonesia.
Menurutnya, sejumlah pasal
bermasalah itu sudah ditolak berbagai elemen masyarakat sejak tahun 2019 lalu.
"Padahal, penolakan terhadap
pasal-pasal bermasalah tersebut telah dilakukan oleh berbagai elemen masyarakat
secara masif dan konsisten," ucap BEM UI.
Jika pasal bermasalah itu tetap
disahkan, BEM UI menganggap pemerintah tutup mata dan telinga terhadap suara
penolakan dari masyarakat.
Pemerintah, menurut BEM UI,
justru bergegas untuk mengesahkan RKUHP tanpa mengakomodasi saran yang telah
disampaikan oleh masyarakat.
Adapun sejumlah pasal yang
dinilai BEM UI bermasalah, yakni Pasal 256, Pasal 218 hingga Pasal 220, serta
Pasal 349 dan Pasal 350.
Pasal 256 RKUHP memuat ancaman
pidana penjara atau pidana denda bagi penyelenggara pawai, unjuk rasa, atau
demonstrasi tanpa pemberitahuan terlebih dahulu yang mengakibatkan terganggunya
kepentingan umum, menimbulkan keonaran, atau huru-hara.
Pasal 256 RKUHP menyiratkan bahwa
masyarakat membutuhkan izin dalam melakukan penyampaian pendapat di muka umum
agar terhindar dari ancaman pidana.
"Padahal, ketentuan yang
berlaku sekarang hanya mewajibkan pemberitahuan dan menjatuhkan sanksi
administratif berupa pembubaran sekiranya ketentuan tersebut tidak
terpenuhi," kata Anggota BEM UI, Adam.
Pasal 256 juga memuat unsur
karet, yakni kepentingan umum, yang tidak dijelaskan secara komprehensif, di
mana hal ini rentan disalahgunakan untuk membelenggu kebebasan berpendapat dan
berekspresi masyarakat.
Di sisi lain, Pasal 218 hingga
Pasal 220 memuat ancaman pidana penjara atau pidana denda bagi setiap orang
yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden
dan/atau Wakil Presiden.
"Pasal 218 hingga Pasal 220
RKUHP pada dasarnya akan menimbulkan beragam permasalahan mengingat pasal ini
bertentangan dengan asas persamaan di hadapan hukum," jelas Adam.
(populis).