SANCAnews.id – Keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) yang tidak
mengharuskan menteri mundur dari jabatan saat maju sebagai calon presiden dan
calon wakil presiden mendapat kritikan tajam. Salah satunya dari ekonom senior,
DR. Rizal Ramli.
Menteri Koordinator Perekonomian
era Presiden Gus Dur ini menilai bahwa MK di bawah kepemimpinan Anwar Usman
semakin tidak mengerti arti dari etika dan pemerintahan yang baik.
Apalagi, kedudukan Anwar Usman
yang kini merupakan saudara ipar dari Presiden Joko Widodo, seharusnya juga
menimbulkan potensi konflik kepentingan antara dua lembaga tinggi negara. Bahkan
usai Anwar Usman menikahi adik kandung presiden, sebutan untuk Mahkamah
Konstitusi turut diselewengkan menjadi Mahkamah Keluarga.
“Mahkamah Keluarga makin lama
makin tidak tahu malu, semakin memalukan. Tidak mengerti etika dan good
governance, tidak mengerti potensi conflict-of-interest. Wong dirinya harusnya
mundur sebagai ketua MK!” tegasnya kepada redaksi, Rabu (2/11).
Rizal Ramli mengingatkan bahwa
negara yang ingin maju harus bisa membuat rakyatnya semakin cerdas dan makmur.
Caranya adalah dengan memastikan para pejabat memiliki etika yang tinggi.
Selain itu, para pejabat juga harus bisa mengurangi konflik kepentingan, dan
memperkuat good governance.
“Nah, keputusan MK memicu
kemunduran etika dan good governance. Itulah produk dari Mahkamah Keluarga!
Malu-maluin, norak,” tutupnya.
Pada Senin kemarin (31/10),
permohonan uji materiil norma pencalonan pejabat negara menjadi presiden dan
wakil presiden di pemilu oleh partai politik atau gabungan parpol, sebagaimana
diatur dalam Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu, diputuskan diterima
sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua MK, Anwar Usman membacakan
amar putusan permohonan a quo atas perkara nomor 68/PUU-XX/2022, dalam Sidang
Putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (31/10).
"Mengabulkan permohonan
pemohon untuk sebagian," ujar Anwar Usman dikutip melalui siaran langsung
kanal Youtube MK RI.
Majelis Hakim Konstitusi menilai
alasan hukum para Pemohon yang menyatakan ketentuan Pasal 170 ayat (1)
bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sudah tepat. Sebab
Majelis Hakim Konsitusi menilai, menteri dan pejabat setingkat menteri
merupakan rumpun eksekutif yang tidak bisa dianggap berbeda dari presiden dan
wakil presiden.
Selanjutnya, MK tegas menyatakan
bahwa jabatan menteri atau pejabat setingkat menteri termasuk dalam rumpun
kekuasaan eksekutif yang menjadi bagian dari kekuasaan yang dimiliki oleh
presiden dan wakil presiden.
Oleh karena itu, demi kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau pejabat setingkat menteri adalah yang dikecualikan apabila dicalonkan oleh parpol atau gabungan parpol sebagai capres atau cawapres, harus mendapat persetujuan atau izin cuti dari presiden. Artinya, menteri tidak perlu mundur saat mencalonkan diri menjadi calon presiden atau calon wakil presiden. (rmol)