SANCAnews.id – Mahkamah Konstitusi (MK) menolak gugatan Undang
Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu. Majelis Hakim menolak gugatan yang
diajukan oleh tiga orang pemohon terkait dengan masa jabatan Presiden dan Wakil
Presiden RI.
Gugatan atau permohonan pengujian
Pasal 169 huruf N Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tersebut diajukan oleh Ghea
Giasty Italiane, Desy Febriani Damanik dan Anyelir Puspa Kemala.
"Menyatakan permohonan para
pemohon tidak dapat diterima," kata Ketua MK Anwar Usman saat membacakan
amar putusan perkara Nomor 101/PUU-XX/2022 yang disiarkan MK secara virtual di
Jakarta, Rabu.
Pada bagian pertimbangan hukum
yang dibacakan oleh Hakim Arief Hidayat mengatakan bahwa norma yang diajukan
oleh pemohon berkenaan dengan ketentuan syarat menjadi calon presiden dan calon
wakil presiden yang sebelumnya belum pernah menjabat sebagai presiden dan wakil
presiden selama dua kali masa jabatan dalam jabatan yang sama.
Pemohon menjelaskan memiliki hak
konstitusional untuk memilih dan hak untuk memperoleh kepastian hukum
sebagaimana dijamin dalam Pasal 28D Ayat (1) UUD 1945 yang dibatasi, dan
dianggap dirugikan dengan berlakunya pasal a quo.
Sehingga pemohon membutuhkan
kepastian hukum apakah presiden yang telah menjabat dua periode dapat
mencalonkan diri sebagai calon wakil presiden.
Menurut mahkamah, norma Pasal 169
huruf N UU Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu sama sekali tidak membatasi atau
menghilangkan hak konstitusional para pemohon untuk menggunakan hak pilihnya.
Sebab, masih terdapat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden yang
dapat dipilih oleh pemohon sehingga bisa menggunakan hak pilihnya.
"Artinya, selama dan
sepanjang masih terdapat pasangan calon presiden dan calon wakil presiden para
pemohon sama sekali tidak dibatasi atau kehilangan hak pilihnya,"
jelasnya.
Kemudian, berkenaan dengan
penjelasan syarat kerugian konstitusional pemohon apabila permohonan dikabulkan
akan menjadikan warga negara memilih pasangan calon presiden dan calon wakil
presiden tanpa adanya keraguan dan ketidakpastian hukum, dinilai tidak relevan
jika dikaitkan dengan kedudukan hukum pemohon sebagai perseorangan.
"Terlebih lagi norma Pasal
169 huruf N sama sekali tidak menghilangkan hak konstitusional pemohon untuk
menggunakan hak pilihnya," ujar dia. (suara)