SANCAnews.id – Di dalam draf terbaru Rancangan Undang-Undang Kitab
Undang-Undang Hukum Pidana (RUU KUHP) disebutkan tindak pidana penyerangan
kehormatan atau harkat dan martabat presiden/wakil presiden tak berlaku jika
perbuatan itu dilakukan dalam unjuk rasa.
Hal itu tercantum dalam revisi
Pasal 218 yang diajukan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia (Kemenkumham)
kepada Komisi III Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Rabu (9/11/2022).
Dalam lampiran juga dijelaskan
perubahan penjelasan Pasal 218 Ayat (2) RUU KUHP versi 9 November 2022.
Bunyi Pasal 218 Ayat (2) dalam
draf terbaru RUU KUHP adalah: "Tidak merupakan penyerangan kehormatan atau
harkat dan martabat sebagaimana dimaksud pada ayat (1) jika perbuatan dilakukan
untuk kepentingan umum atau pembelaan diri."
Penjelasan terbaru tentang Pasal
218 Ayat (2) RUU KUHP adalah: "Yang dimaksud dengan 'dilakukan untuk
kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan masyarakat yang diungkapkan
melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi, misalnya melalui unjuk rasa,
kritik, atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden dan/atau Wakil
Presiden.
Dalam negara demokratis, kritik
menjadi hal penting sebagai bagian dari kebebasan berekspresi yang sedapat
mungkin bersifat konstruktif, walaupun mengandung ketidaksetujuan terhadap
perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan/atau Wakil Presiden.
Pada dasarnya, kritik dalam Pasal
ini merupakan bentuk pengawasan, koreksi, dan saran terhadap hal-hal yang
berkaitan dengan kepentingan masyarakat."
Sedangkan menurut penjelasan
Pasal 218 Ayat (2) RUU KUHP versi 4 Juli 2022 adalah: "Yang dimaksud
dengan 'dilakukan untuk kepentingan umum' adalah melindungi kepentingan
masyarakat yang diungkapkan melalui hak berekspresi dan hak berdemokrasi,
misalnya melalui kritik atau pendapat yang berbeda dengan kebijakan Presiden
dan Wakil Presiden. Kritik adalah menyampaikan pendapat terhadap kebijakan
Presiden dan Wakil Presiden yang disertai uraian dan pertimbangan baik buruk
kebijakan tersebut.
Kritik bersifat konstruktif dan
sedapat mungkin memberikan suatu alternatif maupun solusi dan/atau dilakukan
dengan cara yang objektif.
Kritik mengandung ketidaksetujuan
terhadap perbuatan, kebijakan, atau tindakan Presiden dan Wakil Presiden
lainnya.
Kritik juga dapat berupa membuka
kesalahan atau kekurangan yang terlihat pada Presiden dan Wakil Presiden atau
menganjurkan penggantian Presiden dan Wakil Presiden dengan cara yang
konstitusional.
Kritik tidak dilakukan dengan
niat jahat untuk merendahkan atau menyerang harkat dan martabat dan/atau
menyinggung karakter atau kehidupan pribadi Presiden dan Wakil Presiden."
Selain itu, ancaman hukuman
penjara untuk tindak pidana penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat
Presiden dan/atau Wakil Presiden dalam draf terbaru RUU KUHP mengalami
perubahan dengan pemangkasan dari 3,5 tahun menjadi 3 tahun.
Dalam lampiran perubahan itu
dipaparkan isi Pasal 218 Ayat (1) RUU KUHP versi 4 Juli 2022.
Pasal itu sebelumnya berbunyi,
"Setiap orang yang di muka umum menyerang kehormatan atau harkat dan
martabat diri Presiden atau Wakil Presiden dipidana dengan pidana penjara
paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) Bulan atau pidana denda paling banyak
kategori IV."
Sedangkan Pasal 218 RUU KUHP
versi 9 November 2022 berbunyi, "Setiap orang yang di muka umum menyerang
kehormatan atau harkat dan martabat diri Presiden atau Wakil Presiden, dipidana
dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun atau pidana denda paling
banyak kategori IV."
Menurut penjelasan Kemenkumham,
perubahan itu dilakukan sebagai tindak lanjut terhadap masukan dari Institute
for Criminal Justice Reform (ICJR) dan hasil dialog publik.
"Pidana penjara dikurangi
dari 3 tahun 6 bulan menjadi 3 tahun," demikian penjelasan terkait
perubahan hukuman itu menurut Kemenkumham.
"Ancaman pidana penjara Pasal 218 menjadi 3 tahun (empat kali lipat pidana pencemaran terhadap orang)," lanjut isi penjelasan Kemenkumham. (kompas)