SANCAnews.id – Permohonan uji materiil norma pencalonan pejabat
negara menjadi presiden dan wakil presiden di pemilu oleh partai politik atau
gabungan parpol, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 tentang
Pemilu, diputuskan diterima sebagian oleh Mahkamah Konstitusi (MK).
Ketua MK, Anwar Usman membacakan
amar putusan permohonan a quo atas perkara nomor 68/PUU-XX/2022, dalam Sidang
Putusan di Gedung MK, Jalan Medan Merdeka Barat, Jakarta Pusat, Senin (31/10).
"Mengabulkan permohonan
pemohon untuk sebagian," ujar Anwar Usman dikutip melalui siaran langsung
kanal Youtube MK RI.
Dalam poin pertimbangan hukum,
Majelis Hakim Konstitusi menyatakan permohonan para Pemohon, dalam hal ini
Ahmad Ridha Sabana selaku Ketua Umum Partai Gerakan Perubahan Indonesia
(Garuda), dan Sekjennya Yohanna Murtika, beralasan menurut hukum.
Diurai oleh anggota Majelis Hakim
Konstitusi yang bersidang, Arief Hidayat, alasan hukum para Pemohon yang
menyatakan ketentuan Pasal 170 ayat (1) bertentangan dengan Pasal 28I ayat (2)
UUD NRI Tahun 1945, sudah tepat.
Sebab Majelis Hakim Konsitusi
menilai, menteri dan pejabat setingkat menteri merupakan rumpun eksekutif yang
tidak bisa dianggap berbeda dari presiden dan wakil presiden.
"Demikian penting bagi
Mahkamah untuk menegaskan bahwa jabatan menteri atau pejabat setingkat menteri
termasuk dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang menjadi bagian dari kekuasaan
yang dimiliki oleh presiden dan wakil presiden," ucap Arief Hidayat
menegaskan.
"Oleh karena itu, demi
kepastian hukum dan stabilitas serta keberlangsungan pemerintahan, menteri atau
pejabat setingkat menteri adalah yang dikecualikan apabila dicalonkan oleh
parpol atau gabungan parpol sebagai capres atau cawapres, harus mendapat persetujuan
atau izin cuti dari presiden," sambungnya.
Sehingga menurutnya, seharusnya
menteri dan setingkat menteri dikecualikan dari pejabat negara yang harus
mundur dari jabatannya, sebagaimana diatur dalam Pasal 170 ayat (1) huruf g.
"Mahkamah akan mempertimbangkan
Penjelasan Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017 tentang Pemilu yang dimohonkan
pengujian oleh pemohon sebagai akibat adanya perubahan berupa pemaknaan baru
terhadap norma Pasal 170 ayat (1) UU 7/2017," kata Arief Hidayat.
Dengan demikian, dalam amar
putusan yang dibacakan Ketua Majelis Hakim Konstitusi, Anwar Usman, frasa dalam
Pasal 170 ayat (1) UU Pemilu, dan Penjelasan Pasal 170 ayat (1) huruf g diubah.
Adapun bunyi Pasal 170 ayat (1)
UU Pemilu yang diubah MK berbunyi; "Pejabat negara yang dicalonkan oleh
partai politik peserta pemilu atau Gabungan partai politik sebagai calon
presiden atau calon wakil presiden harus mengundurkan diri dari jabatannya,
kecuali presiden, wakil presiden, pimpinan dan anggota MPR, Pimpinan dan
anggota DPR, pimpinan dan anggota DPD, menteri dan pejabat setingkat menteri,
gubernur, wakil gubernur, bupati, wakil bupati, walikota, dan wakil
walikota".
Sedangkan bunyi penjelasan Pasal
170 ayat (1) UU Pemilu setelah diubah MK menghapus frasa "Menteri dan
Pejabat Setingkat Menteri" dari penjelasan "Yang dimaksud 'pejabat
negara' dalam ketentuan ini kecuali (mereka yang harus mundur jika dicalonkan
presiden atau wakil presiden oleh parpol atau gabungan parpol) adalah:
a. Ketua, Wakil Ketua, Ketua Muda
dan Hakim Agung pada Mahkamah Agung
b. Ketua, Wakil Ketua, dan Hakim
pada semua badan peradilan kecuali Hakim ad hoc
c. Ketua, Wakil Ketua, dan
Anggota Mahkamah Konstitusi
d. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
Badan Pemeriksa Keuangan
e. Ketua, Wakil Ketua dan Anggota
Komisi Yudisial
f. Ketua dan Wakil Ketua Komisi
Pemberantasan Korupsi
g. Kepala Perwakilan Republik
Indonesia diluar negeri yang berkedudukan sebagai Duta Besar Luar Biasa dan
Berkauasa penuh; dan
h. Pejabat Negara lainnya yang
ditentukan oleh undang-undang. (rmol)