SANCAnews.id – Inilah profil Freddy Budiman, pengedar narkoba yang telah dieksekusi mati pada tahun 2016 silam. Sosok Freddy Budiman kembali viral setelah Irjen Teddy Minahasa ditetapkan sebagai tersangka kasus narkoba.
Irjen Teddy Minahasa mengatur barang bukti sabu sebesar 5 kg untuk kemudian dijual. Pengungkapan kasus narkoba yang menjerat Irjen Teddy Minahasa membuat masyarakat mengingat pengakuan almarhum Freddy Budiman.
Dikutip dari
Tribunnews, melalui KontraS, Freddy Budiman mengaku menggelontorkan dana
miliaran Rupiah ke polisi dan BNN.
Bahkan Teddy mengaku duduk bersama Jenderal dan diberi fasilitas oleh mobil TNI. Hal ini yang membuat Irjen Teddy Minahasa disangkutkan dengan pernyataan Freddy Budiman. Nama Freddy Budiman lantas trending di media sosial Twitter.
Lantas siapa sosok Freddy Budiman?
Freddy Budiman
merupakan pria kelahiran Surabaya, pada 18 Juli 1977. Freddy Budiman meninggal
setelah dieksekusi mati pada 29 Juli 2016 di usia 39 tahun. Freddy dieksekusi
di Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah.
Dikutip dari
Kompas.com, Freddy berulang kali terjerat pengedaran narkoba. Berkali-kali pula
Freddy mendekam di penjara karena kasus yang sama. Namun hukuman tersebut tak
membuat Freddy jera. Dia juga disebut mengendalikan peredaran narkoba dari
balik jeruji besi.
Masih dari
Kompas.com, Freddy Budiman pertama kali terjerat narkoba di Maret 2009. Kala
itu, polisi menggeledah kediaman Freddy di Apartemen Surya, Cengkareng, Jakarta
Baret, ditemukan 500 gram sabu. Saat itu, dia divonis 3 tahun dan 4 bulan.
Tak lama bebas,
di tahun 2011 Freddy kembali ditangkap karena kasus yang sama. Dia ditangkap di
Jalan Benyamin Sueb, Kemayoran, Jakarta Pusat.
Polisi
menemukan barang bukti berupa 300 gram heroin, 27 gram sabu, dan 450 gram bahan
pembuat ekstasi. Kepemilikan dan peredaran barang haram tersebut melibatkan
anggota Polri, Bripka BA, Kompol WS, AKP M, dan AKM AM. Atas perbuatannya,
Freddy kemudian divonis sembilan tahun penjara.
Baru setahun
mendekam di balik jeruji besi LP Cipinang, Freddy kembali berurusan dengan
aparat penegak hukum atas kasus peredaran narkoba. Freddy diketahui masih bisa
mengendalikan peredaran narkoba dari balik jeruji besi.
Dia terbukti
bisa mengorganisasi penyelundupan 1.412.476 butir ekstasi dari China pada Mei
2012. Kasus penyelundupan ekstasi dari China itu merupakan kasus terbesar dalam
10 tahun terakhir di Indonesia.
Atas
perbuatannya, Freddy kemudian divonis mati oleh Majelis Hakim Pengadilan Negeri
Jakarta Barat pada 15 Juli 2013.
Tak sampai di
sana, Freddy ternyata memiliki fasilitas khusus. Freddy dikabarkan telah
menjalin hubungan dengan model majalah pria dewasa, Anggita Sari.
Freddy kemudian terlibat bilik asmara di LP Narkotika di Cipinang Jakarta Timur. Bilik asmara itu digunakan Freddy dan kekasihnya, Vanny Rossyane, untuk menikmati narkoba dan berhubungan seksual. Selain itu, Freddy juga mendapat fasilitas Wartel untuk menghubungi jaringannya di Belanda.
"Kalau di
lapas itu ada wartelsus, wartel khusus pemasyarakatan. Itu saya pakai untuk
komunikasi. Jadi, selama ini saya berbincang itu lewat wartel di sana,"
kata Freddy, dikutip dari Kompas.com.
Dijelaskan
Freddy, ia dipungut biaya untuk menggunakan fasilitas telekomunikasi di lapas
itu. Berkat fasilitas tersebut, Freddy mengaku dapat berkomunikasi dengan
timnya di berbagai lapas seperti di LP Cipinang dan Salemba. Dia bahkan bisa
menghubungi jaringannya di Belanda.
"Saya
komunikasi seperlunya saja dengan pekerja saya, sama yang di Belanda aja,"
ucap Freddy.
"(Hubungi
anak buah di lapas) pakai wartel. Bisa kok," lanjutnya.
Kalapas
Cipinang yang kala itu dijabat Thurman Hutapea pun harus dicopot dari
jabatannya karena kasus bilik asmara Freddy.
Sejak vonis
mati di tahun 2013, Freddy juga memutuskan terlibat jaringan bisnis
internasional setelah menjalani 1,5 tahun isolasi.
Karena masih
menunggu waktu pasti eksekusi matinya, Freddy memutuskan menerima penawaran
sindikatnya karena butuh uang demi keluarganya.
"Dengan
adanya eksekusi (mati) gelombang 1, gelombang 2 membuat saya ya mungkin
ketakutan. Tapi bukan takut pada eksekusinya," ujar Freddy.
Selain itu, Freddy mengaku tertarik terlibat lagi karena mengetahui ia akan mengedarkan narkoba baru. Freddy kemudian dieksekusi mati pada 29 Juli 2016 sekitar pukul 20.00 WIB di LP Nusakambangan, Cilacap, Jawa Tengah. Jenazah Freddy Budiman lalu dimakamkan di Surabaya, Jawa Timur. Sebelum dieksekuis, Freddy Budiman nampak telah berubah, ia mengaku telah bertobat.
Dikutip dari
situs kejari-jakbar.go.id, Freddy Budiman mengaku telah bertaubat dan meminta
maaf pada seluruh masyarakat Indonesia, Jaksa Agung, Kapolri, Kepala BNN,
hingga MA.
Menurut pengakuan sang anak, Freddy Budiman juga meminta untuk diizinkan sholat Isya dulu sebelum dieksekusi mati. KontraS Ungkap Pengakuan Freddy Budiman Beri Uang Miliaran pada BNN dan Mabes Polri
Dikutip dari
Tribunnews.com, pada tahun 2016 silam, Koordinator KontraS, Haris Azhar dalam
pesan singkatnya menceritakan bagaimana tereksekusi mati, Freddy Budiman pernah
mengungkapkan dirinya memberi sejumlah uang kepada BNN sebagai 'Uang Setor'
bisnis narkobanya.
"Dalam
hitungan saya selama beberapa tahun kerja menyelundupkan narkoba, saya sudah
memberi uang 450 Miliar ke BNN. Saya sudah kasih 90 Miliar ke pejabat tertentu
di Mabes Polri," ujar Fredi kepada Harris sebelum dieksekusi.
"Bahkan
saya menggunakan fasilitas mobil TNI bintang dua, di mana si jenderal duduk di
samping saya ketika saya menyetir mobil tersebut dari Medan sampai Jakarta
dengan kondisi di bagian belakang penuh barang narkoba. Perjalanan saya aman
tanpa gangguan apapun,” cerita Haris soal pernyataan Freddy, Jakarta, Jumat
(29/7/2016).
Harris
melanjutkan bahwa BNN juga pernah diberitahu mengenai keberadaan pabrik narkoba
yang berada di Cina oleh Freddy, namun petugas BNN tidak dapat melakukan apapun
dan akhirnya kembali ke Indonesia.
Dari keuntungan
penjualan, Freddy mengatakan dapat membagi-bagi puluhan miliar ke sejumlah
pejabat di institusi tertentu, termasuk Mabes Polri untuk mengamankan bisnis
narkobanya.
Haris mengakui
ada yang tidak benar saat mengunjungi Freddy Budiman di Lapas Nusakambangan
pada 2014 lalu karena tidak ada satupun Closed Circuit Television (CCTV) di
dalam penjara Freddy.
"Saya
mengangap ini aneh, hingga muncul pertanyaan, kenapa pihak BNN berkeberatan
adanya kamera yang mengawasi Freddy Budiman? Bukankah status Freddy
Budiman sebagai penjahat kelas
“kakap” justru harus diawasi secara
ketat?" katanya.
Hingga pada
akhirnya, Freddy mengungkapkan bahwa dirinya hanya sebagai pihak yang selalu
diperas oleh penegak hukum meski tetap 'diamankan' dalam melakukan bisnis
narkoba.
Mendengar hal
tersebut, Kapolri pada saat itu, Tito Karnavian menilai pengakuan Freddy
Budiman hanya untuk menunda eksekusinya.
"Yang
beredar di viral itu informasi tidak jelas, ada disebut Polisi ada BNN. Ini
formasi, kalau bukti itu harus jelas ada namanya siapa. Jadi yang di viral itu
informasi bukan kesaksian. Kalau kesaksian itu ada yang melihat, mendengar dan
mengetahui. Kalau ini kan dia hanya menerima informasi," ujar Tito
Karnavian. (tribunnews)