OLEH: HENDRI TEJA
TULISAN Bang Adian Napitupulu
berjudul “Sebelum Demokrat Demo baiknya belajar matematika dan sejarah dulu”
patut diluruskan. Karena banyak penyesatan logika di sana-sini.
Pertama, Adian mesti crosscheck
data. Kenaikan BBM era SBY sangat tergantung harga minyak mentah dunia. Jika
harga minyak mentah dunia naik, maka harga BBM naik, dan begitu sebaliknya.
Makanya, era Susilo Bambang
Yudhoyono (SBY) pernah menurunkan harga BBM premium hingga Rp 4.500 ketika
harga minyak mentah dunia turun. Sementara, ketika harga minyak mentah dunia
meroket sampai 128,08 dolar AS per barel, SBY mampu mempertahankan harga BBM
Premium di angka Rp 6.000.
Bandingkan dengan era Jokowi yang
mematok harga BBM Pertalite pada kisaran Rp 7.450-Rp 8.400 pada 2015-2018,
padahal saat itu harga minyak dunia sedang nyungsep-nyungsepnya. Misalnya, pada
Januari 2016, harga minyak mentah dunia jatuh ke titik terendah yaitu 27,02
dolar AS per barel, tapi harga BBM Pertalite tetap dipatok Rp 7.900.
Bisa anda bayangkan? Harga minyak
mentah dunia lebih murah 100 dolar AS dari era SBY, tapi harga BBM era Jokowi
justru lebih mahal Rp 1.900.
Kedua, jika mengacu pada UMP
Jakarta 2013, ketika Jokowi masih menjabat sebagai Gubernur DKI Jakarta dan
ngotot menolak kenaikan BBM, pemerintahan SBY telah menetapkan peraturan
terkait kebutuhan hidup layak sehingga UMP 2012 ke 2013 bisa naik 44 persen.
Bandingkan dengan kenaikan BBM
tahun ini di mana UMP Jakarta 2022 cuma tumbuh 0,8 persen dari 2021. Tragisnya,
setelah Anies merevisi UMP 2022 Jakarta sebesar 5,1 persen, dia malah digugat
ke pengadilan.
Ketiga, apa pula maksud Adian
membangga-banggakan pembubaran Petral? Bukankah Pertamina masih merugi?
Bukankah Progam BBM 1 harga gagal? Bukankah harga BBM tetap mahal ketika harga
minyak mentah dunia turun, tetapi naik ketika harga minyak mentah dunia naik?
Jadi, apa sebenarnya dampak pembubaran Petral terhadap turunnya harga BBM?
Enggak tampak juga kan?
Keempat, saya jadi bingung ketika
Adian mengaitkan pembangunan jalan tol sebagai indikator kesuksesan seorang
Jokowi. Bukankah mestinya ini jadi indikator kesuksesan Dirut BUMN Jasa Marga?
Indikator kesuksesan presidennya mestinya beyond itu dong.
Bukankah maksud pembangunan jalan
tol ini demi tujuan ekonomi, agar biaya logistik murah? Faktanya, hingga hari
ini biaya logistik Indonesia masih yang termahal di ASEAN. Mengapa? Karena
pengangkutan logistik via darat itu mahal.
Mestinya, jika yang dikembangkan
adalah tol laut, satu janji Jokowi yang juga belum jelas realisasinya. Namun,
menurut Faisal Basri, hari ini hanya sekitar 10 persen saja logistik di
Indonesia yang diangkut lewat laut.
Dari penjelasan di atas maka era
Jokowi sesungguhnya merupakan era tergerusnya keberpihakan pemerintah kepada
rakyat kecil. Tragis memang.
Pasalnya, Jokowi dicitrakan
sebagai petugas partai dari PDIP, yang selama ini mengklaim sebagai partai wong
cilik. Bahkan PDIP sempat mengorganisasi unjuk rasa, menangis bombay, serta
menolak BLT dan BSLM ketika harga BBM dinaikan tipis-tipis pada era SBY.
Saya menyarankan agar Bang Adian
bisa lebih telisik membaca data, dan catatan sejarah sehingga tidak terjebak
menjadi pendukung pemerintah yang membabi buta.
*(Penulis adalah Sekretaris
Bakomstra DPP Partai Demokrat)