SANCAnews.id – Harga bahan bakar minyak (BBM) kembali dilakukan
penyesuaian alias dinaikkan oleh pemerintahan Presiden Joko Widodo.
Kenaikkan harga BBM yang
diumumkan Jokowi bersama sejumlah menteri terkait hari ini adalah yang kedua
kalinya dalam satu tahun ini.
Pertama kali Jokowi menaikkan
harga BBM jenis Pertamax pada April 2022 dari semula harganya Rp 9.000 per
liter menjadi Rp 12.500 per liter.
Pada bulan kenaikan Pertamax
tersebut, sudah ada rencana pemerintah juga menaikkan harga BBM bersubsidi,
yakni Pertalite.
Namun karena protes dari
masyarakat cukup besar, akhirnya kebijakan tersebut ditunda, dan baru
terlaksana hari ini dengan sekaligus menaikkan harga Solar subsidi dan juga
Pertamax.
Harga Pertalite kini dibanderol
menjadi Rp 10.000 per liter dari sebelumnya Rp 7.650 per liter. Sementara Solar
subsidi dari Rp 5.150 per liter menjadi Rp 6.800 per liter.
Kemudian untuk Pertamax, dari
yang semulanya sudah naik sebesar Rp 12.500 per liter, kini dibanderol lebih
tinggi menjadi Rp 14.500 per liter.
Kebijakan pokok pemerintah ini
dikritisi ekonom dari Universitas Indonesia (UI) Bhima Yushistira, yang
mamandang kenaikan harga BBM subsidi dilakukan di waktu yang tidak tepat.
"Masyarakat jelas belum siap
menghadapi kenaikan harga Pertalite menjadi Rp 10.000 per liter," ujar
Bhima kepada Kantor Berita Politik RMOL, Sabtu (3/9).
Dampak paling nyata bagi
Indonesia dari kenaikkan BBM subsidi, menurut Bhima, adalah ancaman stagflasi,
yakni naiknya inflasi yang signifikan tidak dibarengi dengan kesempatan kerja.
"BBM bukan sekedar harga
energi dan spesifik biaya transportasi kendaraan pribadi yang naik, tapi juga
ke hampir semua sektor terdampak," cetusnya.
Sebagai contoh, Direktur Center
of Economic and Law Studies ini menyebutkan, harga pengiriman bahan pangan akan
naik akibat kenaikan BBM subsidi ini.
"Bahkan di saat yang
bersamaan pelaku sektor pertanian mengeluh biaya input produksi yang mahal,
terutama pupuk," sambungnya menjelaskan.
Yang lebih berpengaruh,
dipaparkan Bhima, adalah inflasi bahan makanan yang per Agustus 2022 kemarin
sudah tercatat cukup tinggi, yakni sebesar 8.55 persen secara tahunan atau year
on year.
"Diperkirakan inflasi pangan
kembali menyentuh dobel digit atau diatas 10 persen per tahun pada September
ini," tuturnya.
Khusus untuk inflasi umum, Bhima
memperkirakan angkanya bisa menembus di level 7-7,5 persen hingga akhir tahun,
dan memicu kenaikan suku bunga secara agresif.
Melihat kemungkinan tersebut,
Bhima memberikan pengibaratan atas kebijakan yang diputuskan pemerintah yang
jelas-jelas akan merugikan perekonomian masyarakat yang saat ini masih dilanda
pandemi Covid-19.
"Konsumen (atau masyarakat)
ibaratnya akan jatuh tertimpa tangga berkali kali. Belum sembuh pendapatan dari
pandemi, kini sudah dihadapkan pada naiknya biaya hidup dan suku bunga
pinjaman," demikian Bhima. *