SANCAnews.id – Bukan tanpa alasan, sebab kasus KM 50 dan pembunuhan
Brigadir J memang mengerucut kepada satu nama, yakni Ferdy Sambo.
Dilihat Suara.com di kanal
YouTube Refly Harun, Kamaruddin menilai tragedi KM 50 begitu simpang siur
sekalipun kini para pelakunya sudah menjalani hukuman masing-masing.
"Menurut versi polisi,
mereka itu kan diduga melakukan perlawanan dengan memiliki 5 pucuk senjata dan
polisi dikatakan untuk menyelamatkan diri dilakukan penembakan," ungkap
Kamaruddin, dikutip pada Rabu (21/9/2022).
Kamaruddin lantas menyoroti
sejumlah hal, termasuk soal benar atau tidaknya ada 5 pucuk senjata api
tersebut. "Soal informasi ditemukannya senjata atau mereka melakukan
perlawanan, benar apa tidak, sampai saat ini kan hanya Tuhan yang tahu,"
kata Kamaruddin.
"Tetapi melihat adanya
perilaku Ferdy Sambo dan kawan-kawan ini yang melakukan obstruction of justice,
kita jadi berpikir juga jangan-jangan senjata rakitan yang 5 pucuk itu
diciptakondisi. Jangan-jangan itu bukan punya yang di mobil tetapi dimasukkan
oleh orang yang membuntuti untuk melegalisasi atau melegitimasi perbuatan
mereka," terangnya melanjutkan.
Pasalnya Sambo, yang kala itu
masih menjabat sebagai Direktur Tindak Pidana Umum Bareskrim Polri, ikut
mengusut kasus KM 50. Namun kini Sambo juga diduga merancang skenario untuk
membuatnya lepas dari tuduhan pembunuhan terhadap Brigadir J.
Karena itulah Kamaruddin
mendorong untuk ditemukannya bukti baru alias novum demi memperjuangkan
keadilan bagi para korban.
"Kepastian hukum memang
sudah, tetapi keadilan masih bisa (diperjuangkan)," ujar Kamaruddin.
"Mengingat perilaku daripada mereka-mereka ini, bagaimana mereka
merekayasa dan tidak jujur atas peristiwa pembunuhan Brigadir J."
Tak hanya itu, Kamaruddin juga
sempat menyoroti adanya kemiripan antara kasus Brigadir J dan KM 50.
"Ada juga pendapat yang
lain, atau analisis-analisis yang menyatakan Brigadir J ini adalah yang kedua
setelah sukses yang pertama, artinya peristiwa KM 50 ini dianggap perbuatan
yang pertama," jelas Kamaruddin.
"Yang juga dilakukan
obstruction of justice, karena di situ ada juga informasinya ada 'penyambaran
CCTV oleh petir'. Tiba-tiba CCTV-nya hilang, tahu-tahu ditemukan senjata dan
sebagainya," pungkasnya.
Kamaruddin menilai, penemuan
senjata maupun tindak perlawanan tidak seharusnya membuat mereka ditembak mati
di tempat. Cukup dilumpuhkan untuk kemudian dihadapkan pada proses hukum yang
berlaku.
Kompolnas Geram Sidang Pelaku Obsruction of Justice Tak Kunjung Selesai
Ada puluhan nama oknum polisi
yang disinyalir melakukan pelanggaran kode etik dalam penanganan kasus
pembunuhan Brigadir J, dengan tujuh di antaranya menjadi tersangka.
Dari ketujuhnya, baru empat yang
telah disidang dan dijatuhi sanksi pemberhentian tidak dengan hormat (PTDH).
Yaitu Ferdy Sambo, Chuck Putranto, Baiquni Wibowo, dan Agus Nur Patria.
Namun masih ada 3 nama lain,
yaitu Brigjen Pol Hendra Kurniawan, AKBP Arif Rahman Arifin, dan AKP Irfan
Widyanto, yang sampai saat ini belum juga menjalani sidang etik.
Hal inilah yang sangat disorot
oleh anggota Kompolnas, Poengky Indarti. "Sebaiknya fokus untuk memproses
yang diduga melakukan pelanggaran berat etik," desak Poengky di Jakarta,
Rabu (21/9/2022).
"Diharapkan sidang lebih
difokuskan pada pelanggaran berat terlebih dahulu. Akan lebih baik jika sidang
dinyatakan terbuka untuk umum sebagai bentuk transparansi dan
akuntabilitas," lanjut Poengky, lantaran sidang etik justru diselingi
dengan beberapa pelaku pelanggaran kode etik sedang dan ringan. (suara)