SANCAnews.id – Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan laporan yang dilayangkan oleh dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) Ubedilah Badrun terkait laporan dugaan KKN dan TPPU anak Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming Raka dan Kaesang Pangarep diarsipkan. Alasannya, karena pelapor tak kunjung memberikan data pendukung.
Pernyataan Wakil Ketua KPK Nurul
Ghufron dalam jumpa pers saat penyampaian kinerja semester I KPK Bidang
Kelembagaan di Gedung Merah Putih KPK, Jalan Kuningan Persada Kav 4, Setiabudi,
Jakarta Selatan pada Jumat (19/8) itu, direspons oleh Ubedilah selaku pelapor.
Ubedilah mengatakan, Ghufron
menyampaikan bahwa laporannya ke KPK tentang dugaan tindak pidana korupsi dan
atau Tindak Pidana Pencucian Uang (TPPU) berkaitan dugaan Korupsi, Kolusi, dan
Nepotisme (KKN) relasi bisnis anak presiden dengan Grup bisnis yang diduga
terlibat pembakaran hutan dinyatakan sejauh ini masih sumir karenanya kasus
diarsipkan.
Bahkan kata Ubedilah, Ghufron
menyatakan bahwa pihak pelapor dalam hal ini Gibran dan Kaesang bukan pejabat
publik dan belum mempunyai informasi uraian fakta dugaan atau data dukung
terkait dengan penyalahgunaan wewenang dari penyelenggara negara.
"Terhadap jawaban KPK
tersebut saya menyayangkan argumen komisioner tersebut yang menyatakan bahwa
tidak ada kaitannya dengan pejabat negara karena dinilai bukan penyelenggara
negara," ujar Ubedilah kepada Kantor Berita Politik RMOL, Minggu (21/8).
Padahal menurut Ubedilah, secara
nyata Gibran dan Kaesang adalah putra dari penyelenggara negara, dalam hal ini
Presiden RI.
Selain itu kata Ubedilah, Gibran
juga merupakan penyelenggara negara saat dilantik sebagai Walikota Solo yang
ternyata juga masih menjabat sebagai Komisaris Utama di perusahaan yang disebut
dalam laporannya.
"Lebih jelasnya, pada
tanggal 26 Februari 2021 Gibran dilantik menjadi Walikota Solo. Pada saat yang
sama Gibran juga masih terdaftar (belum mundur) sebagai Komisaris di PT Siap
Selalu Mas, memiliki 47 persen saham PT Harapan Bangsa Kita, dan Komisaris
utama PT Wadah Masa Depan memegang 19,7 persen saham," jelas Ubedilah.
Ubedilah menyoroti, bahwa korupsi
bukan hanya mengambil uang negara yang bukan haknya, akan tetapi menurut buku
Kapita Selekta dan Beban Biaya Sosial Korupsi, definisi korupsi telah gamblang
dijelaskan di dalam 13 pasal UU 31/1999 juncto UU 20/2001. Berdasarkan
pasal-pasal tersebut kata Ubedilah, tindak pidana korupsi dirumuskan ke dalam
30 jenis, salah satunya memberi hadiah atau gratifikasi.
"Perlu diingat juga bahwa
dalam kasus yang saya laporkan juga ada pengangkatan penyelenggara negara yaitu
pengangkatan Duta Besar yang sebelumnya ia sebagai Managing Director di PT SM.
Ia bukan diplomat karir. Di mana putra dari Duta Besar yang diangkat pada
tanggal 17 November 2021 tersebut diketahui menjalin kerjasama bisnis yang
sangat intens dengan Gibran dan Kaesang, ada peralihan kepemilikan saham,
hingga bisnis putra presiden tersebut mendapat kucuran dana penyertaan modal
dari sebuah perusahaan ventura," terang Ubedilah.
Suntikan penyertaan modal itu
kata Ubedilah, hingga saat ini sudah terjadi sebanyak tiga kali, yakni pada 17
Agustus 2019, 23 November 2020, dan 6 Juni 2022.
"Terkait dugaan 'transaksi
yang mencurigakan' dan terkait dugaan gratifikasi jabatan, dugaan gratifikasi
kepemilikan saham, serta TPPU adalah tugas KPK untuk mengusut secara tuntas
agar menjadi terang demi tegaknya kepastian hukum yang adil," tutur
Ubedilah.
Menurut Ubedilah, KPK dapat
meminta kepada Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) untuk
menelusuri transaksi yang diduga mencurigakan tersebut.
Selain itu, KPK juga memiliki
kewajiban hukum untuk mencegah dan memberantas KKN dengan menelusuri seluruh
perusahaan lainya milik putra presiden tersebut yang jumlahnya kurang lebih 20
perusahaan yang didirikan oleh putra presiden tersebut.
"Termasuk misalnya pembelian
saham 40 persen PT Persis Solo Saestu oleh Kaesang bersama Erick Thohir. Apakah
benar pembelian saham itu berasal dari uang pribadi atau perusahaan milik
Kaesang? Tugas mulia KPK merupakan Amanat Reformasi 1998 yang tertuang dalam
Tap MPR Nomor XI/MPR/1998 Tentang Penyelenggara Negara Yang Bersih dan Bebas
KKN," terang Ubedilah.
Terkait pernyataan Ghufron
tentang belum adanya data pendukung kata Ubedilah, sebenarnya sudah dijawab
pada 26 Januari 2022 saat dipanggil KPK selama dua jam dengan menyampaikan
data-data awal dan penjelasan hukum yang lebih detail kepada KPK pada saat itu.
Menurut Ubedillah, KPK semestinya
bisa menelusuri data-data awal tersebut hingga menemukan peluang terjadinya
KKN. Dengan demikian, dugaan tindak pidana korupsi dan atau TPPU berkaitan
dugaan KKN relasi bisnis anak presiden dengan grup bisnis yang diduga terlibat
pembakaran hutan tersebut bisa ditelusuri.
"Jadi urusan penelusuran itu
urusan KPK yang memeiliki wewenang atas nama Undang-undang, bukan saya, itu
tugas KPK," pungkas Ubedilah. (*)