OLEH: ANTHONY BUDIAWAN
MAHKAMAH Konstitusi (MK) bukan lagi penegak konstitusi.
Tetapi menjelma menjadi bagian yang melanggengkan pelanggaran konstitusi. Semua
gugatan uji materi presidential threshold 20 persen dimentahkan, ditolak tanpa
dasar, ditolak dengan melanggar konstitusi itu sendiri.
Ada dua alasan yang menjadi senjata pamungkas MK menolak
semua permohonan uji materi. Pertama mengenai kedudukan hukum pemohon atau
legal standing. MK akan menjaga agar pemohon tidak mempunyai legal standing,
sehingga tidak bisa menggugat.
Kedua terkait alasan open legal policy. Menurut MK, DPR
mempunyai wewenang konstitusional menentukan presidential threshold, berapapun,
sesukanya, sepanjang disetujui DPR dan disahkan menjadi UU. Artinya,
presidential threshold sebagai open legal policy sah secara konstitusi, menurut
MK.
Kedua alasan MK tersebut sangat mengada-ada, tidak
profesional, sewenang-wenang alias tirani, hanya untuk mempertahankan UU yang
merampas kedaulatan rakyat dan demokrasi, bertentangan dengan kepentingan
publik dan konstitusi.
Dalam uji legal standing (kedudukan hukum) MK menganut
“kepentingan langsung” atau “direct interest”. Menurut MK, hanya pihak yang
mempunyai “kepentingan langsung” yang dapat mengajukan permohonan uji materi
(judicial review): menguji sebuah UU terhadap konstitusi.
“Kepentingan langsung” diartikan pihak pemohon mempunyai
kerugian konstitusional secara langsung akibat diberlakukannya sebuah UU.
Terkait uji materi presidential threshold, pemohon yang
mempunyai kerugian konstitusional antara lain yang mempunyai kualifikasi tidak
diragukan untuk dapat diusulkan menjadi calon presiden. Artinya, rakyat biasa
yang tidak mempunyai kualifikasi meyakinkan sebagai calon presiden, dianggap
tidak mempunyai kerugian konstitusional, dan tidak bisa mengajukan permohonan
uji materi.
Uji legal standing menurut direct interest seperti dijelaskan
di atas sudah usang, sudah ditinggalkan. Mahkamah hampir di seluruh negara
demokrasi dan negara maju dunia sudah menganut uji legal standing lebih luas,
beralih dari direct interest menjadi public interest (kepentingan publik):
legal standing pemohon dianggap relevan sepanjang mewakilkan kepentingan publik
yang dirugikan akibat berlakunya sebuah UU.
Alasannya, konstitusi adalah hukum publik, dibuat untuk
melindungan kepentingan publik, bukan untuk kepentingan individu semata.
Artinya, hukum publik (hukum adminitratif) pada prinsipnya
bukan mengenai hak individu, melainkan tentang kesalahan
publik (public wrongs) dalam menjalankan prinsip keadilan dan kewajaran hukum
publik: Hal ini sebenarnya yang menjadi pokok gugatan uji materi presidential
threshold.
Maka itu, pendapat MK bahwa hanya pihak yang mempunyai
“kepentingan langsung” yang dapat mengajukan permohonan uji materi sepenuhnya
salah memahami fungsi konstitusional MK. Artinya, MK tidak kompeten dan layak
dibubarkan.
Kedua, dalam hal pemohon mempunyai legal standing, MK akan
menghalangi dengan alasan presidential threshold merupakan open legal policy
DPR, karena itu, menurutnya, sah secara konstitusi. Artinya, MK berpendapat
bahwa DPR mempunyai wewenang konstitusional secara mutlak dalam menentukan
presidential threshold: 20 persen, 30 persen atau bahkan 50 persen, semua sah
menurut MK.
Alasan ini lebih vulgar lagi, secara terang-terangan
bertentangan dengan konstitusi. Pertama, dalam konstitusi tidak boleh ada
interpretasi open legal policy, karena akan menjadi sumber kekacauan hukum.
Konstitusi Pasal 6A ayat (2) mengatakan “pasangan calon
presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum”.
Bunyi pasal tersebut sangat jelas sehingga tidak mungkin bisa
ada interpretasi lain: konstitusi tidak mencantumkan ambang batas pencalonan
presiden (presidential threshold): Artinya, tidak boleh ada ambang batas
pencalonan presiden. Maka itu, open legal policy yang mengatur presidential
threshold, secara terang-terangan, bertentangan dengan konstitusi.
Kedua, DPR tidak mempunyai hak dan wewenang konstitusional
apapun untuk mengubah (bunyi) konstitusi, terlebih melalui UU yang dimaksudkan
sebagai open legal policy. Karena UU yang dibuat DPR secara hierarki berada di
bawah konstitusi, dan tidak bisa koreksi konstitusi.
Selain itu, dan yang terpenting dari semuanya, lembaga tinggi
negara yang mempunyai wewenang konstitusional untuk mengubah (makna) konstitusi
adalah MPR, yang terdiri dari DPR dan DPD. Artinya, sekali lagi, lembaga DPR
tidak mempunyai wewenang konstitusional sama sekali untuk mengubah konstitusi,
termasuk melalui open legal policy.
Dengan mengakui open legal policy terkait presidential
threshold sah menurut konstitusi berarti MK sudah merampas, mengambil secara
tidak sah, hak dan wewenang konstitusional DPD yang merupakan bagian dari MPR.
Tindakan ini jelas merupakan perbuatan melawan hukum. Karena itu, hakim MK
layak diberhentikan, dan bertanggung jawab penuh atas perbuatan melawan hukum
yang dilakukannya.
Penulis adalah Managing Director PEPS (Political Economy and
Policy Studies)