SANCAnews.id – Banyak pasal-pasal dalam RUU KUHP dianggap dapat mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam Pasal 2 UU 40/1999 tentang Pers. Untuk itu, Dewan Pers meminta agar DPR RI untuk menghapus "pasal karet".
Tuntutan itu disampaikan oleh Ketua
Dewan Pers, Azyumardi Azra saat konferensi pers menanggapi dampak RUU KUHP
terhadap kemerdekaan pers.
"Setelah mempelajari materi RUU
KUHP versi terakhir 4 Juli 2022, Dewan Pers tidak melihat adanya perubahan pada
delapan poin yang sudah diajukan," ujar Azyumardi kepada wartawan di
Gedung Dewan Pers Lantai 7, Jalan Kebon Sirih, Jakarta Pusat, Jumat siang (15/7).
Untuk itu, kata dia, Dewan Pers
menyatakan agar beberapa pasal-pasal yang ada di RUU KUHP dihapus karena
berpotensi mengancam kemerdekaan pers, mengkriminalisasi karya jurnalistik dan
bertentangan dengan semangat yang terkandung dalam UU 40/1999 tentang Pers.
Utamanya, Pasal 2 yang berbunyi
"Kemerdekaan pers adalah salah satu wujud kedaulatan rakyat yang
berasaskan prinsip-prinsip demokrasi, keadilan, dan supremasi hukum".
"RUU KUHP tersebut juga memuat
sejumlah pasal yang multitafsir, memuat 'pasal karet', serta tumpang tindih
dengan UU yang ada," tegasnya.
Pasal-pasal RUU KUHP yang mengancam
kemerdekaan pers dan mengkriminalisasi karya jurnalistik, yaitu Pasal 188
tentang Tindak Pidana terhadap ideologi negara; Pasal 218-220 tentang Tindak
Pidana Penyerangan Kehormatan atau Harkat dan Martabat Presiden dan Wakil
Presiden.
"Perlu ditiadakan karena
merupakan penjelmaan ketentuan-ketentuan tentang penghinaan terhadap Presiden
dan Wakil Presiden dalam KUHP sudah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi (MK)
berdasarkan Putusan nomor 013-022/PUU-IV/2006," jelasnya.
Selanjutnya, Pasal 240 dan 241
tentang Tindak Pidana Penghinaan Pemerintah yang Sah, serta Pasal 246 dan 248
tentang penghasutan untuk melawan penguasa umum.
"Harus dihapus karena sifat
karet dari kata 'penghinaan' dan 'hasutan' sehingga mengancam kemerdekaan pers,
kebebasan berpendapat dan berekspresi," terang Azyumardi.
Kemudian Pasal 263 dan 264 tentang
Tindak Pidana Penyiaran atau Penyebarluasan Berita atau Pemberitahuan Bohong;
Pasal 280 tentang Tindak Pidana Gangguan dan Penyesatan Proses Peradilan; Pasal
302-304 tentang Tindak Pidana terhadap Agama dan Kepercayaan; Pasal 351-352
tentang Tindak Pidana terhadap Penghinaan terhadap Kekuasaan Umum dan Lembaga
Negara.
Lalu, Pasal 440 tentang Tindak Pidana
Penghinaan pencemaran nama baik; dan Pasal 437, 443 tentang Tindak Pidana
Pencemaran.
"Dewan Pers mengharapkan agar
anggota DPR dapat memenuhi asa keterbukaan sebagaimana diatur dalam Pasal 5
huruf g UU 12/2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dalam
proses RUU KUHP dengan memberikan kesempatan seluruh lapisan masyarakat untuk
memberikan masukan mulai dari perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan
atau penetapan, dan pengundangan secara transparan dan terbuka," pungkasnya.
(rmol)