SANCAnews.id – Kebijakan larangan ekspor minyak
sawit mentah atau crude palm oil (CPO) dan minyak goreng yang diumumkan
Presiden Joko Widodo diperkirakan tidak akan berumur panjang. Pasalnya,
kebijakan tersebut justru berdampak buruk pada daerah penghasil sawit.
Ketua Umum Asosiasi Petani Plasma Kelapa Sawit Indonesia
(APPKSI) Andi Muhammadyah memperkirakan, kebijakan larangan ekspor CPO itu akan
berakhir setelah amsa libur lebaran.
"Pelarangan ekspor CPO tidak akan lama, paling juga
habis lebaran dibuka kembali, karena perekonomian butuh bertumbuh dan lapangan
kerja baru juga dibutuhkan akibat dampak Covid-19 yang sudah menyebabkan PHK
besar besaran," kata Andi dalam keterangannya, Selasa (3/5).
Dikatakan Andi, pelarangan ekspor CPO tidak akan memberikan
dampak yang signifikan untuk menurunkan harga minyak goreng kemasan maupun
curah di dalam negeri.
Kalaupun terjadi kenaikan harga di pasaran, lanjutnya, masalah
tersebut sudah diberikan solusi melalui jaring pengaman sosial berbentuk
bantuan langsung tunai (BLT) oleh pemerintah.
"Perlu dicatat juga, didasarkan kebutuhan fisik mininum
untuk seorang buruh dengan istri dengan dua anak membutuhkan 0,78 liter minyak
goreng seminggunya," terangnya.
"Artinya sebulan hanya dibutuhkan 3,12 liter, dengan BLT
Rp 100 ribu rupiah perbulan sudah terpenuhi 2 liter minyak goreng untuk
keluarga penerima BLT. Sementara sisanya tentu ditutup dengan pengeluarannya
setiap bulan yang hanya dibutuhkan untuk membeli 1,12 liter minyak
goreng," katanya lagi.
Selain merugikan petani sawit, Andi mengatakan, larangan
ekspor CPO juga akan menguntungkan negara tetangga yang juga penghasi minyak
sawit.
"Dampak larangan ekspor minyak sawit mentah dan minyak
goreng Indonesia akan menyebabkan penurunan harga domestik dan mendorong
kenaikan harga di pasar lain seperti Malaysia," tandasnya. (rmol)