SANCAnews.id – Pembahasan RUU Peraturan Perubahan
Perundang-undangan (PPP) memicu polemik di masyarakat. Pasalnya, RUU itu
dibahas setelah Mahkamah Konstitusi (MK) memutuskan Omnibus Law UU Cipta Kerja
inkonstitusional bersyarat.
Direktur Pusat Studi Konstitusi, Feri Amsari menuturkan, RUU
PPP bisa mengubah Omnibus Law UU Cipta Kerja yang semula telah dinyatakan
inkonstitusional menjadi konstitusional lantaran tata cara perubahan
perundang-undangannya telah diubah, sebelum merevisi Omnibus Law UU Cipta
Kerja.
“Saat ini pemerintah sungguh seakan memiliki niat jahat, yang
bisa diukur dari tindakan dan kelalaian atau bahkan kesalahpahaman atas putusan
Mahkamah Konstitusi yang menegaskan pengujian formiil,” ujar Feri dalam
keterangannya, Minggu (17/4).
Dalam catatan MK, amar putusan MK 91 hanya memerintahkan
perbaikan UU Cipta Kerja. Namun yang terjadi, pembentuk UU berencana merevisi
sekaligus dengan UU Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan
Perundang-undangan.
Menurut Feri, pemerintah memang sedari awal sudah berniat
mengabaikan putusan MK. Hal ini ditandai dengan, pertama, pembentukan Instruksi
Mendagri Nomor 68 Tahun 2021 tentang Tindak Lanjut Putusan MK Nomor
91/PUU-XVIII/2020 atas Pengujian Formil UU Nomor 11 Tahun 2020 tentang Cipta
Kerja.
Kedua, lanjutnya, instruksi ini memerintahkan kepala daerah
untuk menjalankan UU Cipta Kerja sebagai Tindak Lanjut dari Arahan Presiden.
Ketiga, Pasal 185 UU Cipta Kerja memerintahkan PP wajib ditetapkan 3 bulan
sejak UU itu berlaku yaitu sejak diundangkan pada 2 November 2020.
“Keempat, PP Bank Tanah ditetapkan dan diundangkan 29 April
2021, padahal aturan tersebut merupakan bagian dari dipersyaratkan UU Cipta
Kerja,” demikian Feri. (rmol)