SANCAnews.id – Usai demonstrasi besar-besaran mahasiswa di depan Komplek Parlemen, Senayan, Jakarta Selatan, Senin lalu (11/4), sejumlah kalangan masih menuntut Presiden Joko Widodo untuk memberikan sanksi tegas kepada Menko Marvest, Luhut Binsar Pandjaitan.

 

Sebab, Luhut dinilai sebagai sosok yang tak bisa mempertanggungjawabkan pernyataannya terkait big data dukungan penundaan pemilu yang dia klaim mencapai 110 juta masyarakat.

 

Hal itu terlihat jelas saat Luhut dicecar Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI) selang sehari dari demonstrasi mahasiswa di DPR RI, Selasa (12/4).

 

Kala itu, Luhut dijadwalkan memberi kuliah umum dalam acara Minister Talk: "Bangkit Bersama, Bangkit Lebih Kuat: Indonesia Menyongsong Pasca pandemi Covid-19" di Kampus UI, Depok, Jawa Barat. Menariknya, materi yang disampaikan mantan Menko Polhukam itu kepada mahasiswa UI, adalah terkait "Keteladanan sebagai Kunci Kepemimpinan".

 

Sayangnya saat didatangi mahasiswa yang menuntut Luhut membuka big data dukungan penundaan pemilu, mantan Menko Polhukam itu menolak dengan berbagai alasan. Salah satunya karena dirinya bukan orang yang berbicara soal penundaan pemilu maupun masa jabatan presiden 3 periode.

 

Menurut Direktur Eksekutif Arus Survei Indonesia, Ali Rif'an, posisi Luhut dalam polemik isu penundaan pemilu dan 3 periode masa jabatan presiden sudah jelas, yakni sebagai pemegang mandat dari seseorang.

 

Dalam hal ini, Ali melihat posisi Luhut sebagai salah seorang menteri di Kabinet Indonesia Maju yang dipimpin Presiden Joko Widodo.

 

Mau tidak mau, setiap menteri harus taat dan patuh kepada presidennya, sebagaimana yang diungkap Jokowi pada awal membentuk kabinet, "tidak ada visi misi menteri, yang ada hanyalah visi misi presiden".

 

Berdasarkan hal itu, Ali mempertanyakan kembali sikap Jokowi yang tak kunjung memberikan sanksi kepada Luhut. Menyusul aksi penolakan keras dari mayoritas masyarakat dan mahasiswa Indonesia melalui banyak kanal media hingga aksi demonstrasi pekan lalu.

 

"Kalau (Luhut menggalakkan isu penundaan pemilu dan 3 periode) atas seizin beliau (Presiden Jokowi), ya sudah tidak ada sanksi. Karena memang ini agak sulit ya menduga ketika ini tidak atas kode presiden sendiri," ujar Ali kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (19/4).

 

Atas dugaan tersebut, sedari awal muncul isu penundaan pemilu Ali mengaku sudah paham, bahwa yang disampaikan oleh Luhut juga Menteri Investasi Bahlil Lahadalia adalah untuk melakukan tes pasar.

 

"Makanya kenapa dari awal saya bilang wacana tiga periode hanya bagian untuk (melihat) bagaimana respons masyarakat," tuturnya.

 

Maka dari itu, Ali meyakini bahwa rencana penundaan pemilu untuk memperpanjang masa jabatan Presiden Jokowi menjadi 3 periode memang sudah disiapkan sejak lama.

 

Selain karena isu 3 periode sudah menyeruak sejak 2020 silam, pernyataan Jokowi yang masih menggantung dalam beberapa kesempatan menjadi buktinya.

 

Barulah setelah muncul penolakan dari mahasiswa di berbagai daerah melalui demonstrasi, jadwal dan tahapan Pemilu Serentak 2024 akhirnya dipastikan akan didukung pemerintah. Termasuk melantik pimpinan KPU dan Bawaslu RI periode 2022-2027.

 

"Boleh jadi ya, apabila menjelang pelantikan KPU Bawaslu tidak ada penolakan yang berarti dari masyarakat, atau apalagi mahasiswa diam-diam saja, bisa jadi wacana ini akan terus bergulir. Tetapi fakta yang kita saksikan memang penolakannya luar biasa," ucapnya.

 

"Dan mungkin berdasarkan hitung-hitungan tim istana, barangkali kalau ini dilanjutkan akan terjadi instabilitas keamanan, instabilitas politik, bahkan chaos. Jadi itulah pertimbangan-pertimbangan mengapa wacana ini di-closing," demikian Ali. (rmol)


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.