SANCAnews.id – Ketua Umum Pengurus Besar Nahdlatul Ulama (PBNU) Yahya Cholil Staquf mengingatkan status kafir atau non muslim sudah tidak relevan. Hal ini jika mengacu pada konteks negara bangsa modern.

 

Pria yang juga akrab disapa Gus Yahya itu mengatakan dia dan beberapa pihak lain telah mengambil kesimpulan bahwa kategori non muslim atau kafir sesungguhnya tidak relevan di dalam konteks negara bangsa modern.

 

"Kami pada waktu itu dengan membuat kesimpulan bahwa kategori non muslim atau kafir sesungguhnya tidak relevan di dalam konteks negara bangsa modern," kata Gus Yahya dikutip Hops.ID dari kanal Youtube Official TVMUI pada Jumat, 1 April 2022.

 

Gus Yahya mengungkapkan pengambilan kesimpulan dengan menyebut istilah non muslim atau kafir tidak relevan di konteks bangsa modern karena dibutuhkan usaha dan strategi dalam hal untuk mengubah mindset atau pola pikir dari umat. Hal itu terkait dengan banyaknya pemikiran umat yang masih memelihara permusuhan dan kebencian.

 

"Karena umat ini masih punya mindset yang cenderung memelihara permusuhan dan kebencian satu sama lain," terangnya. Gus Yahya mengatakan jika usaha untuk merubah pola pikir yang memilihara permusuhan dan kebencian adalah tugas semua pihak, jadi bukan hanya umat Muslim saja.

 

Menurut Gus Yahya semua pihak mewarisi sejarah dari konflik yang panjang sekali selama berabad-abad antara Islam melawan dunia nonmuslim. Dia menyebut selama era Turki Usmani 700 tahun dari kekuasaan Turki Usamani itu tidak pernah berhenti sama sekali kompetisi militer melawan kerajaan-kerajaan Kristen Eropa di Barat.

 

“Begitu juga di timur ada Dinasti Mughal yang sepanjang waktu yang cukup lama terlibat konflik yang sangat tajam dengan umat Hindu di India, khususnya India bagian utara," terangnya.

 

Gus Yahya menjelaskan sejarah persaingan agama terus mengendap hingga saat ini. Hal itu telah menjadi pola pikir masyarakat.

 

“Semua sejarah yang kita warisi sekarang dan sudah mengendap sebagai mindset kita sekarang. Sementara wacana tentang moderasi dan toleransi itu justru sesuatu yang baru,” tuturnya.

 

Dia tak menutup mata terhadap fakta bahwa dunia memang bentuk persaingan nyata antar-identitas. Tak terkecuali juga terkait identitas-identitas agama. “Di situ kerajaan-kerajaan dengan identitas agama, negara dengan identitas agama berkonflik satu sama lain, bersaing secara politik dan militer dengan membawa label agama masing-masing," terangnya.

 

Gus Yahya menuturkan oleh karena itu diperlukan kesadaran untuk membangun tata dunia yang damai yang akan membutuhkan suatu wawasan keagamaan yang moderat. "Dalam arti yang tidak mengedepankan permusuhan dan konflik melawan agama lain," tegasnya.

 

Tak hanya itu, Gus Yahya guna mewujudkan tata dunia yang stabil dan tak rawan konflik maka juga diperlukan toleransi yang tinggi antar umat yang berbeda pandangan dan keyakinan.

 

"Kuncinya hidup berdampingan secara damai di antara kelompok-kelompok yang berbeda," tandasnya.

 

Sementara netizen menanggapi beragam pendapat Gus Yahya beberapa diantaranya mengingatkan kata kafir itu berasal dari Al Quran dan tak boleh diganti.

 

“Jelas nama surah nya saja Al-Kafiirun. Harusnya sebagai muslim kita memahami ini. Toleransi dalam kehidupan sosial boleh, tapi tidak dalam Aqidah,” tulis akun @kkmanti.

 

“Kata Kafir itu ada dlm Alqur'an, berarti Alqur'an hrs diubah sesuai seleramu? Tolong sebutkan siapa sj Ulama Nu yg setuju? biar warga Nahdiyin tdk salah mngikuti Ulama,” tulis akun @CendekiaHeart

 

“Berpikir untuk merubah satu ayat dalam Al-Qur'an adalah HARAM hukumnya. Al-Qur'an diturunkan Allah Subhanahu Wa Ta'ala untuk diikuti. Dan seluruh konteks yang ada dalam ayat Al-Qur'an akan tetap relevan hingga yaumul qiyamah,” tulis akun @mohsach. hops


Label:

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.