SANCAnews.id – Gelombang kritik terhadap
kebijakan Presiden Joko Widodo melarang ekspor minyak sawit mentah atau Crude
Palm Oil (CPO) dan produk minyak goreng mulai tanggal 28 April 2022 terus
berdatangan.
Anggota Komisi IV DPR RI Fraksi Demokrat Suhardi Duka
mengatakan bahwa keputusan Jokowi itu merupakan kebijakan terburuk dalam
sejarah kepemimpinannya.
Meski keinginan untuk memastikan kebutuhan dalam negeri itu
baik, menurut Suhardi apa yang dilakukan Jokowi tidak tepat. Sebab, masalah
minyak goreng ada pada alur distribusi. Secara teknis, kata Suhardi, ada dugaan
keterkaitan antara mafia dan pejabat
pemerintahan.
Dalam pandangan politisi senior asal Sulawesi barat ini,
Jokowi seharusnya menyelesaikan dugaan keterlibatan mafia, bukan dengan
melarang ekspor hasil sawit.
“Persoalannya ada mafia dan ada pejabat yang bisa dibeli,
jadinya amburadul semua,” demikian penjelasan Suharid kepada Kantor Berita
Politik RMOL," Minggu malam (24/4).
Wakil Rakyat yang menangani bidang Pertanian, Lingkungan
Hidup, Kehutanan, dan Kelautan ini berpendapat, dengan keputusan Jokowi ini
akan mengganggu pasokan kebutuhan CPO global. Sebab, Indonesia yang memproduksi
CPO sekitar 47 sampai 50 juta ton setiap tahunnya, sebagian besar justru di
ekspor ke luar negeri.
Kata Suhardi, dengan menghentikan ekspor, maka pasokan dunia
terganggu dan harga CPO akan melambung tinggi. Pada kondisi itulah, yang
diuntungkan justru negara lain seperti Malaysia,
"Dinikmati oleh negara tetangga. Indonesia kehilangan
devisa ratusan triliun rupiah dan petani sawit menjadi miskin,” ucap Suhardi
Duka.
Ia menilai, kebijakan Jokowi berat sebelah. Sebagai pemimpin
Jokowi tidak memikirkan nasib jutaan petani sawit di Indonesia.
Dari sekitar 2,6 juta petani sawit, setidaknya ada 12 juta
jiwa yang saat ini menggantungkan hidupnya pada hasil sawit dan ada dalam
keadaan ekonomi kategori pra sejahtera.
Dengan demikian, Suhardi mengatakan apa yang dilakukan Jokowi
justru memperburuk keadaan petani sawit.
“Menurut saya kebijakan ini adalah kebijakan ekonomi yang
paling buruk yang pernah diambil presiden dalam sejarah bangsa,” pungkas
Suhardi. (*)