SANCAnews.id – Ahli hukum tata negara Yusril Ihza
Mahendra menilai bahwa penundaan Pemilu 2024 merupakan usul yang "tidak
mungkin dapat dilaksanakan".
Penundaan pemilu menabrak Pasal 22E ayat (1) UUD 45 yang
memerintahkan agar pemilu dilaksanakan lima tahun sekali.
Di samping itu, secara politik, penundaan pemilu ini bakal
berdampak serius yakni kevakuman kekuasaan di mana-mana.
"Konsekuensi dari penundaan itu, jabatan-jabatan
kenegaraan yang harus diisi dengan pemilu juga berakhir," kata Yusril
melalui keterangan tertulis yang diterima Kompas.com, Minggu (6/3/2022).
"Begitu jabatan berakhir setelah lima tahun, para
pejabat tersebut, mulai dari presiden sampai anggota DPRD telah menjadi mantan
pejabat, alias tidak dapat melakukan tindakan jabatan apapun atas nama
jabatannya," jelasnya.
Dalam keadaan kevakuman kekuasaan itu, warga berhak
membangkang pada pejabat-pejabat yang memaksa bertindak sebagai seolah-olah
pejabat yang sah.
"Jika keadaan seperti itu terjadi, maka akan terjadilah
anarki, semua orang merasa dapat berbuat apa saja yang diinginkannya,"
ungkap Yusril.
"Negara akan berantakan karenanya. Tertib hukum lenyap
samasekali," kata dia.
Satu-satunya jalan menunda Pemilu 2024 adalah merevisi
landasan konstitusionalnya, dalam hal ini melakukan amandemen UUD 1945.
"Tanpa amandemen, maka penundaan pemilu adalah
pelanggaran nyata terhadap UUD 1945. Risiko pelanggaran terhadap UUD 1945
adalah masalah serius," ujar Yusril.
Sebelumnya, tiga ketua umum partai politik yaitu Ketua Umum
Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) Muhaimin Iskandar, Ketua Umum Partai Amanat
Nasional (PAN) Zulkifli Hasan dan Ketua Umum Partai Golkar Airlangga Hartarto
menyampaikan wacana penundaan pemilu dan perpajangan masa jabatan presiden.
Wacana ini diawali oleh Muhaimin yang mengusulkan Pemilu 2024
diundur dengan dalih khawatir mengganggu stabilitas ekonomi Tanah Air pada
tahun tersebut. *