SANCAnews.id – Dugaan Mantan sekretaris Kementerian BUMN,
Said Didu, mengenai dana Jaminan Hari Tua (JHT) digunakan untuk pembiayaan
pemerintah terbukti.
Pihak BPJS Ketenagakerjaan telah mengonfirmasi bahwa ratusan
triliun dana milik buruh telah diinvestasikan melalui pembelian Surat Utang
Negara (SUN).
BPJS Ketenagakerjaan melaporkan total dana program Jaminan
Hari Tua (JHT) mencapai Rp375,5 triliun pada 2021 atau naik sekitar 10,2 persen
dari tahun sebelumnya.
Sebagian besar dana tersebut ditempatkan surat utang negara
(SUN) untuk membiayai Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN).
"Sebagaimana komitmen kami untuk memastikan pengelolaan
dana JHT sesuai tata kelola yang baik dan berpedoman pada ketentuan yang
berlaku, kami mengelola dengan sangat hati-hati dan menempatkan dana pada
instrumen investasi dengan risiko yang terukur agar pengembangan optimal,"
ujar Direktur Utama BPJS Ketenagakerjaan Anggoro Eko Cahyo dalam keterangan
resmi, Kamis (17/2).
Anggoro merinci, 65 persen dana JHT diinvestasikan pada
obligasi dan surat berharga di mana 92 persen di antaranya merupakan surat
utang negara.
Kemudian, 15 persen dana ditempatkan pada deposito yang 97
persennya berada pada Himpunan Bank Negara (Himbara) dan Bank Pembangunan
Daerah (BPD).
Selanjutnya, 12,5 persen ditaruh pada saham yang didominasi
pada saham blue chip, yang termasuk dalam indeks LQ45.
Lalu, 7 persen diinvestasikan pada reksa dana di mana reksa
dana tersebut berisi saham-saham bluechip yang juga masuk dalam LQ45.
Terakhir, sebanyak 0,5 persen ditempatkan pada properti
dengan skema penyertaan langsung.
Said Didu melalui Twitter pribadinya mengaku sudah menduga,
ada maksud tersembunyi di balik kebijakan menunda pembayaran JHT milik pekerja.
"Akhirnya terbukti mention saya bbrp hari lalu,"
tulisnya dikutip pada Jumat (18/2/2022).
Ia sebelumnya,
mencurigai ada maksud tertentu dari pemerintah sehingga terbit Peraturan
Menteri Ketenagakerjaan Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan
Pembayaran Manfaat Jaminan Hari Tua (JHT).
Dalam Permen tersebut, terhadap sejumlah perubahan aturan
untuk pembayaran klaim JHT. Kebijakan itu pun menuai protes luar karena
dianggap merugikan pekerja.
Apalagi, dalam kondisi pandemi, dimana pemutusan hubungan
kerja (PHK) banyak terjadi, pekerja membutuhkan uang JHT untuk sekadar
menyambung hidup atau sebagai modal usaha.
Said Didu menduga, kebijakan ini ada kaitannya dengan
pemerintah yang saat ini mulai kesulitan mendapatkan utang. Sementara,
pemerintah masih membutuhkan utang untuk berbagai kebutuhan.
Di saat yang sama, Bank Dunia sudah mengingatkan agar RI
berhenti menerbitkan Surat Utang Negara.
"Karena mkn kurangnya peminat Surat Utang Negara (SUN)
dan dimintanya BI berhenti membeli SUN oleh IMF, sementara pemerintah masih
butuh tambahan utang," tulis Said Didu dikutip dari Twitter pribadinya,
Senin (14/2/2022)
Maka dari itu, menurut Said Didu, patut diduga kebijakan ini
dalam rangka untuk menahan uang JHT milik pekerja agar dapat dimanfaatkan untuk
kepentingan lain oleh pemerintah.
"Maka upaya menahan uang kelolaan seperti dana JHT di
BPJS Ketenagakerjaan agar tidak diambil, mungkin ditujukan untuk beli SUN
tersebut," imbuhnya
Said Didu menambahkan, permasalahan utama yang ia soroti
bukanlah pembelian SUN. Namun, ia mempertanyakan mengapa Kemenaker mengeluarkan
kebijakan mengenai pengambilan JHT di usia 56 tahun.
"Masalahnya bukan krn beli SUN tapi yg dipersoalkan
adalah kenapa JHT harus ditahan dan tdk boleh diambil. Artinya pemerintah tdk
punya dana utk beli kembali SUN yg dibeli dari dana JHT saat pekerja mau ambil
uangnya - shg harus "ditahan"," tandasnya.
Pemerintah tidak sensitif
Anggota Komisi IX DPR RI Fraksi PKS Kurniasih Mufidayati,
prihatin melihat sikap pemerintah yang tak berpihak pada pekerja.
Hal ini terkait terbitnya Peraturan Menteri Ketenagakerjaan
Nomor 2/2022 tentang Tata Cara dan Persyaratan Pembayaran Manfaat Jaminan Hari
Tua (JHT).
Beleid terbaru mengatur pencarian JHT 100 persen hanya bisa
dilakukan pada usia pensiun 56 tahun. Pencarian JHT sebelum usia 56 tahun bisa
dilakukan dengan beberapa persyaratan dan kondisi.
Mufida mengatakan, peraturan itu masih merupakan lanjutan
kebijakan yang tercantum dalam UU Cipta Kerja.
JHT dalam perspektif pemerintah adalah dana yang bisa
diatur-atur oleh pemerintah yang diserahkan kepada pemerintah untuk digunakan
sesuai dengan kebijakan pemerintah.
"Peraturan ini semakin menegaskan filosofi dan politik
kebijakan ketenagakerjaan pemerintah saat ini yang mementingkan ekonomi
(investasi),” ucapnya, Minggu (13/2/2022).
“Di mana dengan perlambatan pencairan JHT tersebut, maka akan
menyebabkan semakin besarnya dana terparkir di BP Jamsostek,” imbuhnya.
“Hal ini tentu saja menyebabkan kecurigaan yang semakin besar
kepada pemerintah," kata Mufida.
Mufida mengatakan, sebagai dana yang diambil dari pekerja,
maka pada hakikatnya program dana JHT adalah hak pekerja.
Jika hak untuk menggunakan dibatas harus sampai berusia 56
tahun, maka peraturan ini akan memberatkan pekerja yang membutuhkan jaring
pengaman sosial di waktu yang serab sulit saat ini.
Menurut data BPJS Ketenagakerjaan, hingga Agustus 2021 ada
1,49 juta kasus klaim JHT didominasi oleh korban PHK dan pengunduran diri
dengan peserta rentang di bawah 30 tahun atau usia produktif.
"Artinya pekerja yang mencairkan JHT karena memang butuh
karena di PHK dan mundur dari perusahaan karena dampak pandemi. Mereka menggunakan
dana JHT untuk bertahan sembari berusaha mencari pekerjaan baru. Kalau aturan
JHT kini hanya bisa dicarikan saat usia pensiun, jaring pengaman untuk mereka
yang di PHK belum ada," ujarnya.
Di sisi lain, sudah ada Jaminan Pensiun bagi pekerja penerima
upah yang manfaatnya bisa dirasakan saat usia pensiun yang menjadi alasan
pemerintah mengubah aturan pencairan JHT ini.
"Manfaat bagi pekerja penerima upah sudah tercover di
program Jaminan Pensiun jika memang semangatnya memberikan perlindungan setelah
usia pensiun. Sementara jaminan hari tua memang faktanya masih digunakan para
pekerja yang kena PHK atau mengundurkan diri sehingga bisa menjadikan dana JHT
sebagai jaring pengaman atau modal usaha," ucapnya.
Mufida menilai, peraturan ini tidak sensitif atas kondisi
masyarakat saat ini. Setelah pekerja tersebut mengalami PHK dengan kesempatan
kerja yang semakin sulit, serta kebijakan pengusaha yang lebih memilih
menjadikan pekerjanya sebagai pegawai kontrak (PKWTT), maka dana JHT tersebut
merupakan harapan tersebesar dari pekerja sebagai dana bahkan untuk menyambung
hidup dan modal usaha.
"Sudah menjadi pengetahuan umum bahwa dana uang pesangon
dari pengusaha sangat sulit dan perlu waktu yang lama bagi pekerja untuk
mendapatkannya. Oleh karena itu JHT menjadi harapan terbesar karena langsung
cair setelah 1 bulan masa tunggu," pungkasnya. (wartakota)