SANCAnews.id – Hermanto, seorang tahanan kepolisian di Lubuklinggau, Sumatera Selatan (Sumsel), diduga tewas dengan sejumlah luka lebam di tubuhnya saat menjalani pemeriksaan. Melihat fakta miris ini, pihak keluarga berharap ada keadilan untuk mereka.

 

“Kami sekeluarga memohon, kami minta keadilan. Kami minta keadilan yang seadil-adilnya,” ucap adik kandung Hermanto, Herman Jaya alias Kahar dikutip dari laman Detik pada Sabtu, 19 Februari 2022.

 

Jaya mengaku bahwa pihak keluarga sejak awal sepakat jika jenazah Hermanto untuk diautopsi dan kuburan Hermanto dibongkar.

 

Jaya juga mengelak adanya isu yang beredar bahwa pihak keluarga disebut menolak untuk diautopsi.

 

Menurutnya, pihak keluarga hingga saat ini belum tahu apakah jenazah Hermanto sudah divisum atau belum. Apabila sudah, Jaya mengaku tidak tahu hasilnya.

 

“Kalau kami dibilang menolak untuk diautopsi, itu tidak betul Pak. Jadi, itu tidak benar, justru kami pihak keluarga siap, kapan diperlukan kuburan siap dibongkar. Untuk hasil visum, itu semuanya kami tidak tahu, karena divisum atau tidaknya pihak keluarga tidak ada diajak membahas soal visum itu,” ungkap Jaya.

 

Sebelumnya, Polda Sumsel memberi keterangan resmi, bahwa telah dilakukan visum pada jenazah korban oleh petugas medis RSUD Siti Aisyah Lubuklinggau.

 

Petugas menyampaikan bahwa lebam ataupun bercak ditubuh korban itu bukan berasal dari kekerasan, melainkan karena Hermanto sudah menjadi mayat, bukan karena penganiayaan oleh polisi.

 

“Hasil pemeriksaan forensik berupa visum terhadap jasad korban sebelum dikebumikan diketahui lebam mayat, seperti kulit yang mau pecah. Bukan akibat tindak kekerasan. Kalau mayat kondisinya tidak bagus, satu dua jam bisa keluar lebam,” kata Kabid Humas Polda Sumsel Kombes Supriadi dikutip dari laman Detik pada Jumat, 18 Februari 2022.

 

Jenazah Hermanto penuh lebam sebelum dikebumikan 

Supriadi mengatakan, pihaknya sebenarnya ingin memastikan penyebab kematian korban dengan rencana melakukan autopsi. Namun, Supriadi mengatakan autopsi ditolak oleh pihak keluarga.

 

“Karena sebenarnya jika mau lebih akurat seharusnya dilakukan autopsi, tapi yang jadi masalah sekarang keluarganya yang tidak mau di autopsi. Padahal untuk lebih tahu apakah yang bersangkutan punya riwayat penyakit juga bisa diketahui dari autopsi. Jadinya bisa lebih transparan. Tapi keluarganya tidak mau, ya kita tidak bisa memaksa mereka,” jelas Supriadi. (terkini)


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.