SANCAnews.id – Beberapa hari belakangan,
keputusan Kementerian Agama soal aturan penggunaan pengeras suara atau toa di
masjid dan musala jadi bahan keributan.
ERA memantau, di banyak media sosial, isu ini makin hangat.
Ada yang memberi komentar positif, pun menghujat.
Uniknya, beberapa organisasi Islam seperti Muhammadiyah dan
Nahdlatul Ulama, bersepakat soal aturan suara toa masjid tersebut.
Toh, Menteri Agama Yaqut Cholil Qoumas mengaku kalau
keputusannya itu untuk menenteramkan. "Pedoman diterbitkan sebagai upaya
meningkatkan ketenteraman, ketertiban, dan keharmonisan antarwarga
masyarakat," ujar Yaqut, Senin (21/2/2022) silam.
Yaqut mengatakan, penggunaan pengeras suara di masjid dan
musala merupakan kebutuhan bagi umat Islam sebagai salah satu media syiar Islam
di tengah masyarakat.
Tapi di sisi lain, masyarakat Indonesia juga beragam, baik
agama, keyakinan, latar belakang, dan lainnya, sehingga diperlukan upaya demi
merawat persaudaraan dan harmoni sosial.
Adapun pedoman penggunaan pengeras suara tersebut di
antaranya meliputi, pemasangan pengeras suara dipisahkan antara pengeras suara
yang difungsikan ke luar dengan pengeras suara yang difungsikan ke dalam
masjid/musala.
Volume pengeras suara diatur sesuai dengan kebutuhan dan
paling besar 100 desibel, hingga dalam hal penggunaan pengeras suara dengan
pemutaran rekaman, hendaknya memperhatikan kualitas rekaman, waktu, dan bacaan
akhir ayat, selawat/tarhim.
Lalu ketentuan jika dipakai saat salat di antaranya,
pembacaan Al-Qur'an atau selawat/tarhim sebelum salat Subuh dapat menggunakan
pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama sepuluh menit, lalu
pelaksanaan salat Subuh, zikir, doa, dan kuliah subuh menggunakan pengeras
suara dalam.
Pelaksanaan salat Zuhur, Asar, Magrib, dan Isya; sebelum azan
pada waktunya pembacaan Al-Qur'an atau selawat/tarhim dapat menggunakan
pengeras suara luar dalam jangka waktu paling lama lima menit, dan sesudah
adzan dikumandangkan menggunakan pengeras suara dalam.
Sementara salat Jumat, pembacaan Al-Qur'an atau
selawat/tarhim dapat menggunakan pengeras suara luar dalam jangka waktu paling
lama sepuluh menit sebelum pelaksanaan dan penyampaian pengumuman mengenai
petugas Jumat, hasil infak sedekah, pelaksanaan khutbah Jumat, shalat, dzikir,
dan doa menggunakan pengeras suara dalam.
Hal lainnya yang diatur mengenai kumandang azan yang
menggunakan pengeras suara luar. Lalu Kegiatan syiar Ramadan, gema takbir Idul
Fitri, Idul Adha, dan Upacara Hari Besar Islam menggunakan pengeras suara
dalam.
Takbir pada tanggal 1 Syawal/10 Zulhijah di masjid/mushala
dapat dilakukan dengan menggunakan pengeras suara luar sampai dengan pukul
22.00 waktu setempat dan dapat dilanjutkan dengan pengeras suara dalam.
Pelaksanaan Salat Idul Fitri dan Idul Adha dapat dilakukan
dengan menggunakan pengeras suara luar, takbir Idul Adha di hari Tasyrik pada
tanggal 11 sampai 13 Zulhijah dapat dikumandangkan setelah pelaksanaan Shalat
Rawatib secara berturut-turut dengan menggunakan Pengeras Suara Dalam.
Terakhir, upacara peringatan hari besar Islam atau pengajian
menggunakan pengeras suara dalam, kecuali apabila pengunjung tablig melimpah ke
luar arena masjid/mushala dapat menggunakan pengeras suara luar.
"Pedoman ini agar menjadi pedoman dalam penggunaan
pengeras suara di masjid dan mushala bagi pengelola (takmir) masjid dan mushala
dan pihak terkait lainnya," kata Yaqut.
Atas keputusan itu, seorang netizen di Twitter berkomentar nyelekit.
Ia sampai membahas, kalau acara dangdutan, suara musiknya boleh dikencangkan.
Berbeda dari suara toa masjid.
"Kalo pengajian di Masjid ato Mushola, kuping mereka kek
kepanasan. Makenye suara TOA dikecilin. Tapi kalo DANGDUTAN boleh dikencengin, ampe
para bayi di kampung sebelah nangis kejer gegara keganggu. EMANG DASAR
SETAN!" tutur akun Twitter @LordCondet. ***