SANCAnews.id – Sebuah petisi dibuat puluhan tokoh nasional
kepada Presiden Joko Widodo agar membatalkan pemindahan ibu kota negara (IKN)
ke Kalimantan Timur (Kaltim).
Petisi tersebut dibuat di change.org dengan judul "Pak
Presiden, 2022-2024 Bukan Waktunya Memindahkan Ibukota Negara".
Hingga Sabtu sore (5/2), petisi yang dibuat oleh sekitar 45
tokoh nasional tersebut sudah ditandatangani oleh 5.426 orang dari target 7.500
orang.
Petisi ini tercatat diorganisir oleh CEO sekalgus Co-Founder
Narasi Institute Achmad Nur Hidayat. Tak hanya itu, petisi ini ternyata
diinisiasi oleh ke-45 tokoh nasional.
Beberapa nama inisiator yang sudah akarab dikenal publik di
antaranya Prof. Dr. Sri Edi Swasono, Prof. Dr. Azyumadri Azra, Prof. Dr. Din
Syamsuddin, Prof. Dr. Busyro Muqodas, Prof. Dr. Nurhayati Djamas, Prof. Dr.
Daniel Mihammad Rasyied, Dr. Anwar Hafid, dan Faisal Basri.
Selain itu, ada nama Mayjen (Purn) Deddy Budiman, Muhammad
Said Didu, Anthony Budiawan, Zaenal Arifin Hosein, dan sejumlah aktivis serta
akademisi lainnya.
Adapun di isi petisi ini dinyatakan bahwa para inisiator
mengajak seluruh warga Indonesia untuk mendukung ajakan agar Presiden Jokowi
menghentikan rencana pemindahan dan pembangunan IKN di Kaltim.
"Memindahkan Ibu kota Negara (IKN) di tengah situasi
pandemi Covid-19 tidak tepat," tulis para inisiator di dalam petisi yang
diakses Kantor Berita Politik RMOL Sabtu sore (5/2).
Menurut para inisiator, kondisi masyarakat saat ini masih
dalam keadaan sulit secara ekonomi, sehingga tak ada urgensi bagi pemerintah
untuk memindahkan IKN ke Kaltim.
"Terlebih, saat ini pemerintah harus fokus menangani
varian baru omicron yang membutuhkan dana besar dari APBN dan PEN," imbuh
inisiator di dalam petisi.
Di samping itu, di dalam petisi ini juga disinggung soal
jumlah utang negara yang cukup besar. Di mana disebutkan, defisit Anggaran
Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) sudah berada di atas 3 persen, sementara
pendapatan negara turun.
Ditambah lagi dengan penyusunan naskah akademik tentang
pembangunan Ibu Kota Negara Baru tidak disusun secara komprehensif dan
partisipatif, terutama mengenai dampak lingkungan dan daya dukung pembiayaan
serta keadaan geologi dan situasi geostrategis di tengah pandemi.
Contoh lainnya dari rencana pembangunan yang tidak
berlandaskan akademik, disebutkan para inisiator, adalah pemilihan lokasi
pembangunan IKN yang berpotensi menghapus pertanggungjawaban kerusakan yang
disebabkan para pengelola tambang batubara.
Sebab mereka mencatat ada sebanyak 73.584 hektare konsesi
tambang batu bara di wilayah IKN yang harus dipertanggungjawabkan.
"Adalah sangat bijak bila Presiden tidak memaksakan
keuangan negara untuk membiayai proyek tersebut. Sementara infrastruktur dasar
lainnya di beberapa daerah masih buruk, sekolah rusak terlantar dan beberapa
jembatan desa terabaikan tidak terpelihara," ucap para inisiator.
Maka dari itu, para inisiator menegaskan bahwa proyek
pemindahan dan pembangunan ibu kota negara baru tidak akan memberi manfaat bagi
rakyat secara keseluruhan dan hanya menguntungkan segelintir orang saja.
"Karena itu, pemindahan ibu kota negara dari Jakarta
merupakan bentuk kebijakan yang tidak berpihak secara publik secara luas
melainkan hanya kepada penyelenggara proyek pembangunan tersebut," tandas
mereka. (*)