SANCAnews.id – Fraksi Partai Keadilan Sejahtera (PKS)
satu-satunya partai yang menolak pengesahan Rancangan Undang-Undang Ibu Kota
Negara (RUU) IKN menjadi UU dalam Rapat Paripurna DPR pada Selasa (18/1/2022)
lalu.
Anggota DPR Fraksi PKS, Suryadi Jaya P, mengatakan, penolakan
RUU IKN karena memiliki dua pertimbangan utama. Yakni melihat dua aspek
formil/prosedur/legalitas dan aspek materiil substansinya.
"Biasanya kalau kita membahas UU tentu kita melihatnya
dari dua aspek yang pertama dalam aspek formil prosedur aspek legalitas.
Kemudian yang kedua adalah aspek materiil substansinya," ujar Suryadi
dalam diskusi publik bertajuk " UU
IKN, Untuk Siapa" Perspektif atas Substansi dan Proses Pembentukan UU
IKN" secara virtual, Jumat (21/1/2022).
Suryadi memaparkan, dari sisi prosedur, partainya memiliki
banyak catatan-catatam. Yakni adanya pemangkasan anggota Pansus RUU IKN yang
semula 56, menjadi 30 orang. Pemangkasan keanggotaan tersebut kata dia,
bertentangan dengan tata tertib DPR bertentangan dengan Undang-Undang MD3.
Kemudian kata Suryadi, pembahasan RUU IKN dilakukan pada masa
reses, bukan masa sidang.
"Tetapi sebagian besar waktu yang kurang lebih 40 hari
dibahas undang-undang ini itu sebagian besarnya dibahas pada saat masa
reses," ucap dia.
Catatan PKS selanjutnya yakni saat penetapan undang-undang di
Paripurna, naskah akhir final dari RUU IKN tidak dipegang oleh para anggota
yang sedang bersidang. Sehingga menurutnya sangat rawan dilakukan
perubahan-perubahan.
"Apa yang akan kita tetapkan. Karena dokumen resmi nya
itu belum ada pada saat penetapan, sehingga ini sangat rawan dilakukan
perubahan-perubahan pada saat penetapan maupun setelah penetapan," papar
Suryadi.
Suryadi pun mengibaratkan penetapan RUU IKN hal tersebut
seperti membeli tikus di kertas kresek.
"Ini yang saya istilah kan kita menetapkan atau membeli
tikus dalam kertas kresek begitu, barangnya tidak jelas. Ini yang pertama dari
sisi formilnya," kata Suryadi.
Suryadi melanjutkan, dari sisi substansi, pembahasan DIM
(Daftar Inventarisasi Masalah) yang ada di RUU IKN tidak tuntas.
"Di UU ini ada 44 pasal di RUU IKN, tetapi pada saat
pembahasan pada 277 DIM dari 277 DIM yang kita kumpulkan, kemudian kita bahas
satu-satu, sebetulnya sebagian besarnya, ini tidak tuntas
pembahasannya," ucap Suryadi.
Misalnya, bentuk pemerintahan di RUU IKN menggunakan daerah
khusus yaitu Otorita. Suryadi menuturkan PKS melihat hal tersebut berpotensi
bertentangan dengan konstitusi terutama pada pasal 18. Pasalnya, kata Suryadi,
dalam konstitusi Indonesia, tidak dikenal otorita dalam satu kewilayahan, yang
ada, yakni pemerintahan daerah, provinsi.
"Pemerintah daerah, provinsi itu terbagi dalam
pemerintahan daerah, kabupaten atau kota, dimungkinkan otorita itu dalam satu
kewenangan sektoral di dalam kewenangan pemerintah, dalam satu kesatuan
wilayah, kita melihat ada potensi itu," lanjut Suryadi.
Selain itu kata Suryadi, partainya menyoroti belum adanya hak konstitusi warga negara yang
akan tinggal di IKN. Sehingga partainya juga memandang, hal tersebut berpotensi
tak sesuai dengan konstitusi.
"Belum lagi ada hak konstitusi warga negara yang nanti
akan tinggal di ikn itu tidak memiliki hak pilih untuk memilih anggota DPRD ya
karena kepala otorita ditunjuk oleh presiden, kemudian di sana tidak ada DPRD.
Nah ini kita memandang berpotensi tidak sesuai dengan konstitusi,"
katanya. (suara)