SANCAnews.id – Ketua LBH Umat Chandra Purna Irawan curiga di
balik penetapan tersangka Habib Bahar bin Smith oleh penyidik Polda Jawa Barat
adalah bagian dari serangkaian pembunuhan karakter terhadap ulama atau aktivis
yang kritis.
"Dengan dilekatkan sebagai orang yang berbohong,
kriminal, residivis," kata Chandra dalam video keterangan pers yang
diterima, Rabu (5/1).
Jika analisis itu benar, kata Chandra, hal itu sesuai dengan
rekomendasi Rand Corporation, yaitu 'Delegitimize individuals and positions
associated with hypocrisy, criminal and immorality' atau serangan terhadap
individu atau karakter dari tokoh-tokohnya
"Upaya ini dilakukan agar meminimalisir dukungan publik
terhadap tokoh-tokoh tersebut," ungkapnnya.
Dalam kasus dugaan penyebaran berita bohong dan ujaran
kebencian, penyidik Polda Jawa Barat menjerat Bahar Smith dengan Pasal 14 Ayat
1 dan 2 UU 1/1946 tentang peraturan hukum pidana Jo Pasal 55 KUHP dan atau
Pasal 15 UU 1/1946 tentang peraturan hukum pidana Jo Pasal 55 KUHP dan atau
Pasal 28 Ayat 2 Jo Pasal 45A UU ITE Jo Pasal 55 KUHP.
"Bahwa pasal tersebut bersifat karet, lentur, dan tidak
memuat definisi pasti yang ketat. Dalam hal ini apa yang dimaksud 'berita atau
pemberitahuan bohong' dan 'keonaran di kalangan rakyat'," tutur Chandra.
Semestinya, kata dia, ada definisi konkret dan memiliki
batasan yang jelas mengenai frasa 'berita atau pemberitahuan bohong' dan
'keonaran di kalangan rakyat tersebut.
Apabila tidak, maka dikhawatirkan bersifat karet/lentur,
tidak bisa diukur, dan penerapannya dikhawatirkan berpotensi sewenang-wenang dalam
menafsirkan.
"Hukum pidana mesti bersifat lex stricta, yaitu hukum
tertulis tadi harus dimaknai secara rigid, tidak boleh diperluas atau
multitafsir pemaknaannya," kata Chandra.
Chandra menyebut frasa 'keonaran di kalangan rakyat' pun
hingga saat ini tidak ada definisi dan batasan yang jelas. Hal itu
dikhawatirkan dan berpotensi menjadikan aparat penegak hukum dapat dengan
secara subjektif dan sewenang-wenang menentukan status suatu kondisi dimaksud.
(rmol)