Oleh: Prof. Dr. Pierre Suteki
SETELAH dilaporkan pendukung Prabowo, Edy Mulyadi dilaporkan
karena menyebut Kalimantan 'Tempat Jin Buang Anak'. CNN memberitakan bahwa Edy
Mulyadi menyebut wilayah Kaltim sebagai 'tempat jin buang anak’, sehingga
menjadi aneh apabila ibu kota negara dipindahkan ke wilayah tersebut. Ia pun
menyebut bahwa segmentasi orang-orang di Kaltim adalah 'kuntilanak' hingga
'genderuwo'.
"Ini ada sebuah tempat elit punya sendiri, yang harganya
mahal, punya gedung sendiri, lalu dijual pindah ke tempat jin buang anak.
Pasarnya siapa? Kalau pasarnya kuntilanak, genderuwo nggak apa-apa bangun di
sana," ucap Edy dalam video beredar.
Pada kasus ini, Edy Mulyadi dapatkah dikenakan sebuah delik?
Memang ketika kerisauan seseorang memuncak, seringkali merespons sesuatu secara
berlebih dan hiperbol bahkan menggunakan kata kiasan yang boleh jadi
menyinggung orang lain.
Namun untuk kasus Mas Edy ini dalam pandangan saya tidak ada
niat tendensius atau motif tertentu untuk merendahkan, melecehkan atau menghina
warga Kalimantan Timur.
Ungkapan "tempat jin buang anak" yang terucap
"spontan" itu hanya merupakan ilustrasi atau padanan kata kalau tidak
bisa dibilang satir terhadap kondisi geografis calon ibu kota baru tersebut.
Istilah Jin buang anak itu, telah menjadi perumpamaan umum
yang sering dipakai publik untuk menggambarkan tempat yang jauh, sulit
dijangkau dan mungkin melalui medan yang berat jika ditempuhnya.
Jangankan di Kalimantan, di beberapa tempat di Pulau Jawa,
Sumatera pun masih banyak daerah yang bisa disebut tempat Jin buang anak.
Bahkan kalau mau jujur, di wilayah yang berada dan tidak jauh dari jabodetabek
masih ada lokasi yang relatif susah aksesnya atau terisolir lalu tempat itu
dijuluki "tempat jin buang anak".
Jadi, mengenai istilah
"tempat jin buang anak" ini seperti yang disampaikan Edi Mulyadi
memang tidak ada maksud buruk atau iktikad jelek apalagi niar jahat (mens rea),
termasuk pada wilayah Kalimantan Timur, sehingga tidak perlu mendapatkan reaksi
yang berlebihan dari siapapun.
Namun, jika ada pihak yang menuntut Mas Edy karena merasa
tersinggung ya dipersilakan, tetapi lebih baik ditempuh melalui restorative
justice apalagi menyangkut UU ITE, terkait dgn Pasal 28 (2) UU ITE (untuk delik
ujaran kebencian terkait SARA).
Kapolri Jenderal Listyo Sigit Prabowo mengeluarkan surat
edaran terkait penerapan UU ITE (Informasi dan Transaksi Elektronik). Ada 11
poin dalam surat tersebut, salah satunya mengatur bahwa penyidik tidak perlu
melakukan penahanan terhadap tersangka yang telah meminta maaf.
Surat Edaran Nomor SE/2/II/2021 tentang Kesadaran Budaya
Beretika untuk Mewujudkan Ruang Digital Indonesia yang Bersih, Sehat, dan
Produktif itu diteken Kapolri pada 19 Februari 2021. Dalam SE itu juga
diperintahkan kepada jajaran kepolisian agar delik bisa diselesaikan dengan
cara MEDIASI (Restorative Justice).
Pertanyaanya, apakah Pak Kapolri mau konsisten nggak dengan SE-nya?
Lebih lanjut kita patut mempertanyakan, apakah kasus Edy
Mulyadi ini merupakan momentum serangan
balasan dari kasus sebelumnya (soal bahasa Sunda) yang menimpa Arteria Dahlan,
sehingga kini isu ini di-blow up dengan menggunakan isu kesukuan/kedaerahan.
Jika kita letterlijk, zakelijk menggunakan hukum, saya yakin
penjara akan 3 kali lipat penghuninya dari kapasitas ideal. Sementara kita
menganut asas pidana itu sebagai ultimum remedium, sebagai langkah terakhir
ketika upaya damai tidak berhasil.
Menurut saya kasus Arteria dengan Edy Mulyadi ini beda, soal
niat jahat (mens rea) khususnya. Arteria tdk secara spontan melainkan
kesengajaan dengan maksud menyatakan melalui pidato ujaran kebencian terhadap
penggunaan bahasa sunda yg ditandai dengan diksi real serta permintaan
pencopotan terhadap Kajati Jabar yg menggunakan bahasa Sunda dalam rapat resmi.
Sementara itu Edy Mulyadi mengeluarkan pernyataan yang diduga
merendahkan masyarakat Kalimantan Timur secara spontandan diksinya adalah kata
kiasan. Dan pernyataannya itu merupakan pernyataan yang sifatnya umum sebagai
mana sudah saya jelaskan tadi.
Atas kasus Edy Mulyadi ini memang terkesan seperti sebagai
kasus tukar tambah Arteria Dahlan namun saya berharap tidak demikian dan
pelaporan atas Edy Mulyadi bukan sebagai ajang pembalasan atas kasus yang
menimpa Arteria Dahlan.
Kembali ke persolan utama, sebenarnya dalam kasus ini, Edy
Mulyadi sedang mengkritik pemindahan IKN yang dinilainya terlalu terburu-buru
dan tidak tepat baik menyangkut tempus maupun locus. Sebagai negara dengan
sistem demokrasi dan berkedaulatan rakyat, dan disebut sebagai the open
society, sangat wajar jika kebijakan publik dikritik oleh rakyat.
Pemindahan IKN dari Jakarta ke Kaltim telah menuai
kontroversi yang belum berkesudahan. Oleh karena itu penyusunan UU IKN yang
dinilai terlalu terburu-buru dan mengandung substansi yang diduga bertentangan
dengan konstitusi, maka layak dikritisi oleh rakyat. Rakyat tidak boleh
dibungkam untuk bicara. Namun, juga harus disadari bahwa kebebasan berpendapat
itu juga dibatasi oleh hukum.
Banyak persoalan yang membelit pemindahan IKN, maka kita
mestinya tetap konsen pada substansi perpindahan IKN bukan sibuk pada
bunga-bunga, yang malah memperkeruh suasana, misalnya persoalan pencemaran nama
baik, dugaan singgung SARA dll yang sebenarnya bisa kita selesaikan secara RJ
atau mediasi saja.
Di rezim sekarang ini ada fakta terkesan tidak banyak oposisi
yang berani lantang, namun sekalinya ada yang berani, mudah sekali masuk bui.
Lalu bagaimana seharusnya perilaku yang "wajib" diperhatikan oleh
para pengkritik kebijakan penguasa? Mengkritik penguasa itu bagi rakyat muslim
hukumnya wajib, terkait dengan kewajiban amar ma'ruf nahi munkar.
Memang harus diakui, nasib pengkritik di masa rezim yang
represif saya rasakan sangat memprihatinkan meskipun yang disampaikan benar
adanya, apalagi tidak benar, atau mengandung unsur pencemaran nama baik, ujaran
kebencian dll sangat besar kemungkinan masuk bui.
Nah, dalam hal ini kita tidak konsisten dalam menerapkan asas
ultimum remedium dan Restorative Justice (RJ). Kita tampaknya masih menderita
legal addiction, kecanduan hukum. Pokoknya harus diproses hukum dan masuk
penjara.
Kunci agar peristiwa hukum, khususnya menyangkut nasib
kritikus sebenarnya ada pada penegak hukum, khususnya mulai kepolisian. Polisi
berada di bawah Kapolri dan Kapolri adalah bawahan presiden.
Jadi, kuncinya pada presidennya. Mau tidak menekankan pada
RJ? Hal ini jangan dihalangi dengan mengatakan Presiden campur tangan dalam
penegakan hukum karena secara hirarkial memang Polri berada di bawah Presiden.
Saya berpesan kepada para segenap warga bangsa Indonesia yang
mengkritik Pejabat Publik supaya tetap memperhatikan aspek etis dan disertai
dengan data atau penalaran yang dapat dipertanggungjawabkan agar tidak
berpotensi menyinggung atau merendahkan pihak lain. kritik tetap dengan etik supaya
tidak dihantam bertubi-tubi.
(Penulis adalah Gurubesar Universitas Diponegoro, Semarang)