SANCAnews.id – Dosen Universitas Negeri Jakarta (UNJ) yang
juga aktivis 98, Ubedilah Badrun membuat tindakan mengejutkan.
Aktivis tersebut melaporkan dugaan pidana Korupsi, Kolusi dan
Nepotisme (KKN) yang dilakukan dua putera Presiden Joko Widodo.
Ubedilah melihat ada kejanggalan dari sejumlah bisnis yang
membuat keduanya memiliki sejumlah perusahaan dengan aset sangat besar dalam
kurun waktu singkat.
Dua putra Presiden Joko Widodo, Gibran Rakabuming dan Kaesang
Pangarep, dilaporkan ke Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Menurut Ubedillah, Gibran dan Kaesang diduga terkait tindak
pidana korupsi dan atau tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan berkaitan
dengan dugaan korupsi, kolusi, dan nepotisme (KKN).
“Kami minta kepada KPK untuk menyelidiki dan meminta kepada
KPK agar menjadi terang benderang dan bagaimana kemudian bila perlu Presiden
dipanggil untuk menjelaskan posisi ini,” ucap Ubedilah di Gedung Merah Putih
KPK sebagaimana dikutip dari Kompas.com, Senin, (10/1/2022).
Ubedilah menceritakan, laporannya terhadap Gibran dan Kaesang
ke KPK didasari atas relasi bisnis anak Presiden dengan grup bisnis yang diduga
terlibat pembakaran hutan.
Ubed menjelaskan, laporannya itu dibuat berawal ketika pada
2015 manajemen PT BMH menjadi tersangka pembakaran hutan. Menurut dia, PT BMH
merupakan milik grup bisnis PT SM.
Ubedilah menuturkan penanganan kasus pidana PT BMH itu tidak
jalan sehingga Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan (KLHK) menggugat
melalui jalur perdata dengan menuntut ganti kerugian Rp 7,9 triliun.
Namun, dalam perkembangannya, yakni di Februari 2019,
Mahkamah Agung (MA) hanya mengabulkan tuntutan sebesar Rp78 miliar.
“Itu terjadi pada Februari 2019 setelah anak Presiden membuat
perusahaan gabungan dengan anak petinggi perusahaan PT SM,” jelas Ubedilah.
Ubedillah meyakini dibalik putusan terhadap PT SM, ada dugaan
KKN yang sangat jelas melibatkan Gibran, Kaesang, dan anak petinggi PT SM.
Sebab, lanjutnya, ada suntikan dana penyertaan modal dari
perusahaan ventura.
“Dua kali diberikan kucuran dana. Angkanya kurang lebih Rp
99,3 miliar dalam waktu yang dekat. Dan setelah itu kemudian anak Presiden
membeli saham di sebuah perusahaan yang angkanya juga cukup fantastis, Rp 92
miliar,” ungkap Ubedilah.
“Dan itu bagi kami tanda tanya besar, apakah seorang anak
muda yang baru mendirikan perusahaan dengan mudah mendapatkan penyertaan modal
dengan angka yang cukup fantastis kalau dia bukan anak Presiden,” tambahnya.
Ubedillah dalam keterangannya pun menambahkan, jika
kehadirannya ke KPK disertai dengan membawa bukti-bukti data perusahaan serta
pemberitaan terkait adanya pemberian penyertaan modal ventura.
Jejak PT BMH
Pengadilan Tinggi Palembang menyatakan PT Bumi Mekar Hijau
(BMH) terbukti bersalah dalam perkara kebakaran hutan dan lahan seluas 20 ribu
hektar di Kabupaten Ogan Komering Ilir pada 2014.
Anak usaha Sinar Mas Group ini dituntut membayar ganti rugi
sebesar Rp78,5 milyar dari tuntutan sebelumnya sebesar Rp7,9 triliun.
Pada Desember 2015, gugatan perdata pemerintah terhadap BMH
ditolak oleh Pengadilan Negeri Palembang.
Majelis hakim berpendapat tidak ada kerugian negara atas
kebakaran seluas 20 ribu hektare di lahan konsesi PT BMH yang terjadi pada
2014.
PT BMH digugat untuk membayar ganti rugi ekologis dan biaya
pemulihan sebesar Rp 7,9 triliun.
Dilansir dari Tempo, Pada 12 Agustus 2006, Pengadilan Tinggi
Palembang mengabulkan banding KLHK atas putusan Pengadilan Negeri Palembang
yang membebaskan PT BMH dari gugatan.
Namun, biaya ganti rugi yang dijatuhkan Pengadilan Tinggi
untuk PT BMH hanya 1 persen dari total gugatan KLHK sebesar Rp 7,9 triliun.
Keputusan kasasi akhirnya keluar pada 2019 melalui keputusan
nomor 51/PDT/2016/PT.PLG
Dalam point pertimbangannya, hakim mengemukakan bahwa
perusahaan tersebut dengan sengaja membakar hutan demi membuka lahan.
"Bahwa setiap peristiwa kebakaran lahan, termasuk di
areal milik Tergugat, tidak mungkin terjadi dengan sendirinya tanpa melibatkan
3 (tiga) faktor yaitu bahan bakar, oksigen dan didukung oleh adanya sumber
penyulutan, ketiga faktor ini dikenal dengan nama segitiga api atau fire
triangle," demikian bunyi pertimbangan itu.
Dalam putusannya, majelis hakim juga melihat bahwa akibat
kebakaran hutan tesebut, telah memberikan keuntungan kepada perusahaan karena
tak perlu mengeluarkan sejumlah biaya.
"Bahwa selain itu, terbakarnya lahan sama sekali tidak
menimbulkan kerugian bagi Tergugat, bahkan justru memberikan keuntungan secara
ekonomis. Dengan terbakarnya lahan, Tergugat tidak perlu mengeluarkan biaya
untuk membeli kapur yang digunakan untuk meningkatkan pH gambut dan biaya
pengadaan pupuk dan pemupukan karena sudah digantikan dengan adanya abu dan arang
bekas kebakaran, serta biaya pengadaan/pembelian pestisida untuk mencegah
ancaman serangan hama dan penyakit. Tergugat juga diuntungkan karena jelas akan
memangkas biaya operasional seperti upah tenaga kerja, bahan bakar, serta
biaya-biaya lain yang dibutuhkan apabila pembukaan lahan dilakukan dengan cara
PLTB sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Terbakarnya lahan
juga akan menguntungkan dari segi waktu karena proses “pembersihan” lahan
menjadi lebih cepat sehingga dapat segera ditanami dan mudah dikerjakan."
Hakim juga menyatakan, berdasarkan keterangan ahli, telah
terjadi kerusakan gambut pada lahan yang terbakar itu.
"Bahwa mengacu kepada fakta-fakta diatas, terbukti
terjadinya peristiwa kebakaran tersebut memang diinginkan oleh Tergugat
sendiri. Dengan adanya faktor “maksud” dan “tujuan” yang inherent dalam
peristiwa kebakaran tersebut, maka dengan demikian terbukti pula unsur
kesengajaan Tergugat dalam kebakaran tersebut."
"Bahwa oleh karena Tergugat memiliki kepentingan atas
terbakarnya lahan yang dengan demikian membuktikan unsur kesengajaannya, maka
Tergugat wajib bertanggungjawab atas kerusakan tanah gambut yang ditimbulkan
oleh kebakaran di atas lahan perkebunan milik Tergugat." (wartakota)