OLEH: DJONO W OESMAN

BERTUBI-TUBI ujaran kebencian. Satu ditahan polisi, pelaku lain muncul lagi. Terbaru, Edy Mulyadi dengan "Jin buang anak di Kalimantan". Yang akan dijemput paksa polisi (jika ia mangkir lagi) pada Senin (31/1/22).

 

Mengapa bisa begitu marak? Apakah para pelaku sebanyak itu, atas inisiatif sendiri? Ataukah inisiatif sendiri, setelah disuruh? Kalau disuruh, berapa bayarannya?

 

Jawabnya, belum ada riset yang bisa menjawab itu. Umpama diriset, sulit mengetahui pihak yang menyuruh. Apalagi, besaran bayarannya. Paling, bisanya diinvestigasi.

 

Cuma diketahui, hampir semua bermotif politik. Dari situ muncul spekulasi, bahwa ada pihak yang menyuruh pelaku. Kalau disuruh, sangat mungkin dibayar. Bayarannya bisa uang. Langsung. Atau janji. Atau sesuatu yang menguntungkan pelaku.

 

Pedoman penyuruh atau pelaku, adalah "Kebebasan berpendapat dijamin UUD 1945."

 

Edy Mulyadi, sudah tersiar luas, melalui video yang ia unggah di YouTube, 21 Januari 2022, menolak kepindahan ibukota RI, dari Jakarta ke Panajam Paser Utara, Kalimantan Selatan.

 

Di situ, yang krusial ada dua. Mengolok Menteri Pertahanan RI, Prabowo Subianto sebagai "Macan yang berubah mengeong". Dan, "Jin buang anak di Kalimantan".

 

Saat ia mengatakan begitu, di video tampak ada penonton. Yang bersorak.

 

Videonya pun viral. Lantas, tiga pihak melapor ke polisi. Dari Sumatera Utara, Sulawesi Utara, dan Kalimantan Timur.

 

Dari Suku Dayak, muncul video balasan. Atas nama Panglima Tambak Baya, Titisan Panglima Burung. Mengancam Edy, diselesaikan secara adat Dayak.

 

Komisi III DPR RI menggelar audiensi dengan Aliansi Bornes Bersatu di Gedung DPR RI, Kamis, 27 Januari 2022. Ada pagelaran tarian perang Suku Dayak. Lengkap dengan Mandau dan tameng.

 

Bareskrim Polri mengambil-alih perkara ini dari laporan polisi di tiga Polda tersebut. Edy dipanggil untuk diperiksa Jumat, 28 Januari 2022. Ternyata Edy tiakda datang, dengan alasan, ada urusan lain.

 

Polri langsung mengirimkan surat panggilan kedua, hari itu juga, ke rumah Edy. Jadwal pemeriksaan Senin, 31 Januari 2022. Surat panggilan disertai catatan, jika ia tidak hadir lagi, langsung, saat itu juga, dijemput paksa. Kata polisi, surat sudah diterima isteri Edy.

 

Di interval tiga hari dari Jumat sampai Minggu, 30 Januari 2022, semua pakar hukum yang diwawancarai pers, mendukung Polri. Bahwa Polri sudah betul. Diduga, Edy mengatakan ujaran kebencian bermuatan SARA. Terbukti, menimbulkan keonaran masyarakat.

 

Pihak pendukung Edy, berdalih: "Kebebasan berpendapat dijamin UUD 1945". Selalu, ini dijadikan dalih.

 

Maka, penegak hukum dan pers, wajib mengedukasi masyarakat tentang hal ini. Bukan hanya sekali-dua. Melainkan terus-menerus. Dengan berbagai cara.

 

Dikutip dari pernyataan Ketua Jaringan Media Siber Indonesia (JMSI) Dr Teguh Santosa, pers wajib bela negara. Teguh mengutip tujuan negara Indonesia, berdasar Alinea Keempat, Pembukaan UUD 1945. Pers Indonesia harus mengacu ke sini:

 

1) Melindungi segenap bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia.

 

2) Memajukan kesejahteraan umum.

 

3) Mencerdaskan kehidupan bangsa.

 

4) Ikut melaksanakan ketertiban dunia, yang berdasarkan kemerdekaan, perdamaian abadi, dan keadilan sosial.

 

Sebab, data Badan Pusat Statistik (BPS) hasil sensus per akhir 2020, lama sekolah rakyat Indonesia rata-rata 8,7 tahun. Artinya, rata-rata rakyat Indonesia putus sekolah di kelas tiga setingkat SMP. Tidak sampai lulus SMP.

 

Dengan tingkat rata-rata 'makan sekolah' segitu, sulit paham tentang "kebebasan berpendapat".

 

Dikutip dari UUD 1945, Pasal 28E, Ayat 3, bunyinya demikian:

 

"Setiap orang berhak atas kebebasan berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat."

 

Tapi, setiap orang juga wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang.

 

UUD 1945, Pasal 28J ayat 2 menyatakan: 

“Dalam menjalankan hak dan kebebasannya, setiap orang wajib tunduk kepada pembatasan yang ditetapkan undang-undang. Dengan maksud untuk menjamin pengakuan serta penghormatan atas hak kebebasan orang lain, dan untuk memenuhi tuntutan yang adil, sesuai dengan pertimbangan moral, nilai-nilai agama, keamanan, dan ketertiban umum, dalam suatu masyarakat demokratis.”

 

Di tingkat dunia, kebebasan berpendapat juga dijamin undang-undang. Disebut: Deklarasi Universal Hak-hak Asasi Manusia.

 

Pasal 19, berbunyi: 

"Setiap orang berhak atas kebebasan mempunyai dan mengeluarkan pendapat. Dalam hal ini termasuk kebebasan menganut pendapat, tanpa mendapat gangguan. Dan untuk mencari, menerima dan menyampaikan keterangan-keterangan dan pendapat, dengan cara apa pun, dan tidak memandang batas-batas." (The Universal Declaration on Human Rights, The UN General Assembly, 10 Desember 1948)

 

Deklarasi Universal itu diimbangi aturan lain: Tidak ada kebebasan absolut (mutlak). Tidak ada kebebasan sekemauan orang. Sebab, bisa menimbulkan kekacauan.

 

International Covenant on Civil and Political Rights (ICCPR), menyebutkan, kebebasan berpendapat dilarang merugikan orang lain. Juga dilarang mengganggu national security (keamanan nasional).

 

Soal keamanan nasional, di Indonesia diatur di Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1998 tentang Kemerdekaan Menyampaikan Pendapat di Muka Umum, wajib menjaga kesatuan dan persatuan bangsa.

 

Jadi, seandainya ada orang bicara sebebas-bebasnya, lantas menimbulkan keonaran, sehingga memecah kesatuan dan persatuan bangsa, tapi dibiarkan aparat hukum, maka bisa bubar negeri ini. Merugikan seluruh anak bangsa.

 

Tapi, apalah artinya? Bagi pihak atau orang, atau orang yang menyuruh orang, soal aturan-aturan itu?

 

Pelanggar tidak peduli. Walaupun paham undang-undang. Buktinya, terduga Edy Mulyadi. Yang mengaku wartawan, dan minta kasus "Jin Buang Anak" diselesaikan secara jurnalistik. Ke Dewan Pers. Bukan ke Polisi.

 

Seandainya penegak hukum kelak bisa membukti Edy bersalah, itu bakal jadi bukti, bahwa orang mengerti Undang-undang sengaja melanggarnya.

 

Pelanggar lain, dengan aturan yang sama (tentang kebebasan berpendapat) yang kini sudah dihukum, juga sama: Mereka paham undang-undang.

 

Terus, mengapa mereka melanggar? Mengapa mereka mau pasang badan? Demi apa?

Apakah ini terkait dengan tingkat pendidikan rakyat yang (data BPS) 8,7 tahun 'makan sekolah'? Yang, dengan begitu gampang digoreng hoaks? Yang, dengan begitu menguntungkan kepentingan pihak pelanggar?

 

Jawabnya, hanya para pelanggar yang tahu persis.

 

(Penulis adalah wartawan senior)


Label:

SancaNews

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.