SANCAnews.id – Praktik kotor buzzer yang mendukung Basuki Tjahaja Purnama alias Ahok pada Pilkada Jakarta pada 2017 silam terungkap. Praktik tak sehat Buzzer Ahok itu diungkap oleh harian berpengaruh di Inggris, The Guardian.

 

Dikutip Tribunpekanbaru.com pada Sabtu (29/1/2021) dikisahkan tentang cerita Alex. Seorang buzzer yang dikerahkan untuk mendukung Ahok selama Pilkada DKI. Dalam kisahnya Alex mengatakan, ia merupakan bagian dari puluhan buzzer yang dibayar oleh Ahok.

 

Mereka ditempatkan di sebuah rumah mewah di Menteng, disiapkan puluhan perangkat komunikasi berupa hape dan laptop. Lewat perangkat-perangkat itu mereka mengendalikan ratusan akun media sosial palsu.

 

Tujuannya dua. Satu untuk menyerang lawan-lawan Ahok. Dan satu lagi, menaikkan pamor Basuki Tjahaja Purnama agar moncer di mata publik.

 

Akun-akun palsu yang mereka kelola, kata Alex, dibuat seolah-olah akun asli. Diberi foto profil yang seolah-olah riil.

 

Kebanyakan foto profil itu adalah wanita cantik. Agar terlihat seperti akun asli, ratusan akun palsu itu juga memosting berbagai aktivitas normal. Seperti status jatuh cinta, foto kuliner , foto tempat liburan dan lain-lain.

 

“Lantas di saat berperang, kita menggunakan apa pun yang tersedia untuk menyerang lawan,” kata Alex dari sebuah kafe di Jakarta Pusat.

 

"Tetapi terkadang saya merasa jijik dengan diri saya sendiri.” tambahnya.

 

Dalam menjalankan aktivitasnya sebagai buzzer, Alex mengelolal lima akun Facebook, lima akun Twitter, dan satu Instagram.

 

“Mereka menyuruh kami untuk merahasiakannya. Mereka mengatakan itu adalah 'waktu perang' dan kami harus menjaga medan pertempuran dan tidak memberi tahu siapa pun tentang tempat kami bekerja.” sebutnya.

 

Pilkada Jakarta sendiri waktu itu diikuti oleh Ahok, seorang beretnis keturunan Tionghoa, lalu Agus Yudhoyono, putra mantan Presiden RI dan mantan menteri pendidikan, Anies Baswedan.

 

Alex mengatakan timnya dipekerjakan untuk melawan banjir sentimen anti-Ahok, termasuk menaikan tagar yang mengkritik kandidat lawan.

 

Tim Alex, terdiri dari beberapa mahasiswa yang dibayar sekitar sekitar 280 dolar AS atau Rp 4,5 juta per bulan.

 

Mereka bekerja di sebuah rumah mewah di kawasan Menteng, Jakarta Pusat. Setiap hari, mereka diminta untuk memposting 60 hingga 120 konten dalam sehari di akun Twitter palsu mereka, lalu belasan di Facebook.

 

Alex mengatakan, timnya yang terdiri dari 20 orang, masing-masing dengan 11 akun media sosial, akan menghasilkan hingga 2.400 postingan di Twitter sehari.

 

Untuk mengkordinasikan aktivitas buzzer tersebut, Alex dan kawan-kawannya menghimpun diri dalam grup WhatsApp yang disebut Pasukan Khusus.

 

Di dalam grup itu tergabung sebanyak 80 anggota. Grup itu setiap saat membahas tema yang mereka garap dan tagar harian untuk dipromosikan.

 

Di Facebook, mereka bahkan membuat beberapa akun dengan menggunakan foto profil aktris asing terkenal, yang entah kenapa tampaknya adalah penggemar fanatik Ahok.

 

Dari rumah mewah tempat mereka beroperasi, kata Alex, mereka bekerja dari beberapa kamar.

 

“Ruang pertama untuk konten positif, di mana mereka menyebarkan konten positif tentang Ahok. Ruang kedua untuk konten negatif, penyebaran konten negatif dan ujaran kebencian tentang oposisi,” kata Alex.

 

Ia sendiri mengaku memilih ruang positif. Banyak dari akun tersebut hanya memiliki beberapa ratus pengikut.

 

Tetapi dengan membuat tagar tren, seringkali setiap hari, mereka secara artifisial meningkatkan visibilitas di berbagai platform sosial media itu.

 

Dengan memanipulasi Twitter, mereka memengaruhi pengguna nyata dan media massa Indonesia.

 

Hal ini dikarenakan, trending di berbagai plaform media sosial itu acapkali dijadikan acuan sebagai barometer mood nasional.

 

Pradipa Rasidi, pekerja Transparency International di Indonesia yang meneliti media sosial selama Pilkada Jakarta pernah melakukan wawancara dua buzzer Ahok yang berbeda.

 

Dalam penjelasannya kepada Guardian, Pradipa mengatakan, apa yang dilakukan dua buzzer yang diwawancarainya, sama seperti yang dijelaskan Alex.

 

Namun, ketika Guardian mencoba untuk mewawancarai kedua buzzer itu, mereka menolak untuk memberi keterangan. **

 

 

 


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.