SANCAnews.id – Jaksa Penuntut Umum (JPU) Kejaksaan Negeri Jakarta Selatan
(PN Jaksel) menuntut Muhammad Yahya
Waloni, terdakwa ujaran kebencian dan penistaan agama, dengan pidana penjara
selama tujuh bulan dan denda sebesar Rp50 juta atau subsider satu bulan
kurungan.
Tuntutan itu dibacakan oleh Tim JPU Kejari Jaksel dalam
sidang yang berlangsung di PN Jaksel, Selasa, 28 Desember.
"Menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Muhammad Yahya
Waloni dengan pidana penjara selama tujuh bulan dikurangi selama terdakwa
berada dalam tahanan, dengan perintah tetap ditahan dan denda sebesar Rp50 juta
subsider satu bulan kurungan," kata JPU membacakan tuntutan dilansir dari
Antara.
Dalam tuntutannya, jaksa penuntut menyatakan Yahya Waloni
terbukti bersalah melakukan tindak pidana penghasutan untuk melakukan tindak
pidana dengan sengaja dan tanpa hak menyebarkan informasi yang ditujukan untuk
menimbulkan rasa kebencian atau permusuhan individu dan atau kelompok
masyarakat tertentu berdasarkan suku, agama, ras, dan antargolongan (SARA).
Perbuatan Yahya Waloni melanggar Pasal 45 a ayat (2) jo Pasal
28 ayat (2) Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan Atas
Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
(ITE).
Dalam pertimbangannya, jaksa menilai hal yang memberatkan
terdakwa adalah perbuatannya telah merusak kerukunan antarumat beragama yang
sudah berjalan lama.
Adapun hal-hal yang meringankan, yakni terdakwa Yahya Waloni
tidak berbelit-belit dalam memberikan keterangan di persidangan, menyesali
perbuatannya dan telah meminta maaf kepada umat Nasrani dan seluruh rakyat
Indonesia.
Selain itu, saksi pelapor telah memaafkan perbuatan terdakwa,
meskipun kasus hukum terdakwa dilanjutkan demi kebaikan bersama.
"Terdakwa Yahya Waloni berjanji tidak mengulangi
perbuatannya lagi dan diharapkan dapat memperbaiki di masa mendatang. Terdakwa
merupakan tulang punggung keluarga," kata jaksa penuntut.
Usai dibacakan tuntutan, ketua majelis hakim menanyakan
tanggapan terdakwa Yahya Waloni yang menjalani persidangan tanpa didampingi
pengacara. Hakim menanyakan apakah terdakwa menerima tuntutan tersebut dan
berhak mengajukan pleidoi (pembelaan, Red).
Yahya menyatakan menerima dan langsung menyampaikan
pembelaannya secara lisan. Majelis hakim lantas mempersilakan terdakwa
menyampaikan pembelaannya. Dalam pembelaannya, Yahya mengakui dan menyesali
perbuatannya, serta meminta maaf kepada umat Nasrani seluruh Indonesia.
Yahya mengakui perbuatannya melanggar etika dan moralitas
berbangsa dan bernegara, oleh karena itu menerima segala konsekuensinya, dan
menjalani persidangan tanpa didampingi oleh pengacara.
Ia pun berjanji setelah keluar dari penjara akan kembali
menjadi pendakwah yang baik, menyerukan pada persatuan dan kesatuan antarumat
beragama.
"Saya menyadari penuh, apa yang saya lakukan ini akan
mendorong saya lebih baik ke depan, akan menjadi seorang pendakwah yang lebih
santun, bermartabat, beretika menyampaikan risalah dakwah," kata Yahya.
Usai pembacaan pembelaan dari terdakwa, majelis hakim menunda
sidang selama dua pekan untuk pembacaan putusan yang diagendakan pada 11
Januari 2022. (voi)