SANCAnews.id – Munculnya anggapan keliru atas gugatan uji
materi terkait presidential threshold (preshold) 20 persen ke Mahkamah
Konstitusi (MK) disayangkan Koordinator Komunitas Tionghoa Anti Korupsi
(KomTak), Lieus Sungkharisma.
Menurutnya, anggapan keliru itu bisa jadi timbul karena yang
bersangkutan tidak memahami substansi masalah, atau bisa jadi karena dia tak
mau membaca sejarah.
“Orang-orang seperti itu biasanya merasa pintar sendiri, tapi
malah kebelinger,” katanya kepada Kantor Berita Politik RMOL, Selasa (28/12).
Lieus menekankan bahwa persoalanpresidential threshold 20
persen bukan hal yang baru saja muncul jelang Pemilu 2024. Sudah sejak awal
pembahasannya di DPR pun sudah muncul kontroversi.
“Itu dibuktikan dengan walk out-nya empat partai, yakni
Gerindra, Demokrat, PKS dan PAN dari ruang sidang paripurna DPR pada 21 Juli
2017,” kata Lieus.
Bahkan, tambah Lieus, kala itu sidang paripurna hanya
dipimpin oleh Ketua DPR Setya Novanto yang didampingi Wakilnya, Fahri Hamzah.
“Tiga wakil ketua DPR lainnya, Fadli Zon (Gerindra), Agus
Hermanto (Demokrat) dan Taufik Kurniawan (PAN) melakukan aksi walk out bersama
seluruh rekan satu fraksi mereka,” tutur Lieus.
Waktu itu, Partai Gerindra, Partai Demokrat, Partai Keadilan
Sejahtera (PKS), dan Partai Amanat Nasional (PAN) melakukan aksi walk out karena tidak ingin
mengikuti voting terhadap opsi paket lima isu krusial RUU Pemilu. Mereka ingin
ambang batas pencalonan presiden (presidential threshold) 0 persen alias
dihapuskan dalam RUU Pemilu.
Bahkan, tambah Lieus, Ketua Umum Gerindra Prabowo Subianto
sendiri menyebut presidential threshold 20 persen merupakan lelucon politik
yang menipu rakyat.
“Prabowo beralasan, mereka walk out karena tidak mau ikut
bertanggung jawab dalam pengesahan RUU Pemilu itu. Prabowo menyebut pihaknya
tidak mau ikut sesuatu yang melawan akal sehat dan logika. Seperti katanya, dia
tidak mau ditertawakan oleh sejarah,” kata Lieus.
Jadi, tambah Lieus, penolakan atas presidential threshold 20
persen itu sudah muncul sejak sebelum UU 7/2017 disahkan.
“Jadi ini bukan barang baru. Sayangnya selama bertahun-tahun
kita terlalu mabuk oleh ephoria kemenangan untuk dukung mendukung Capres yang
diusung Parpol sehingga mengabaikan persoalan krusial yang menjadi hak
konstitusional rakyat ini,” katanya.
Lebih lanjut Lieus mengingatkan pengurus partai-partai
politik bahwa demokrasi sangat membutuhkan azas keadilan dan tidak memaksakan
kehendak dengan segala cara. Rakyat juga punya hak dan aspirasinya sendiri soal
siapa yang akan menjadi presidennya.
“Jangan hak dan aspirasi itu dibungkam oleh peraturan
perundang-undangan yang tak logis,” katanya.
Terkait adanya petinggi Partai Gerindra yang belakangan menyatakan
presidential threshold 20 persen, Lieus mengatakan bahwa sikap itu sangat
bertentangan dengan apa yang pernah dinyatakan Prabowo.
“Pak Prabowo pernah mengatakan Gerindra menolak presidential
threshold 20 persen itu. Pernyataan itu sampai sekarang belum dicabut. Jadi
petinggi Gerindra hendaknya jangan plin plan soal ini,” tegas Lieus. []