SANCAnews.id – Negara disebut menjadi aktor utama dalam
melakukan penyusutan terhadap ruang kebebasan sipil. Hal tersebut disampaikan
oleh Komisi untuk Orang Hilang dan Korban Tindak Kekerasan (KontraS) dalam
catatan soal kondisi hak asasi manusia (HAM) di Indonesia dalam kurun waktu
satu tahun terakhir.
Laporan itu disusun oleh KontraS dan diberi judul "HAM
Dikikis Habis". Laporan tersebut dikeluarkan dalam rangka memperingati hari
HAM internasional yang jatuh tepat pada hari ini, Jumat (10/12).
Wakil Koordinator KontraS, Rivanlee Anandar, menyampaikan
penyusutan terhadap ruang-ruang kebebasan masyarakat sipil saat ini kian masif.
Hal tersebut tercermin dari tingginya praktik pembubaran paksa terhadap bentuk
penyampaian pendapat dalam konteks aksi unjuk rasa.
"Pada konteks pemaparan kebebasan sipil secara umum,
saya mau menyebutkan hari ini negara menjadi aktor utama dalam melakukan
penyusutan terhadap kebebasan sipil," kata Rivanlee di kantor KontraS,
Kramat, Jakarta Pusat.
Dalam pemantauan KontraS sejak Desember 2020 hingga November
2021, tercatat ada 150 peristiwa pembatasan kebebasan sipil. Dari ratusan
peristiwa itu, kurang lebih 500 masyarakat sipil ditangkap.
Pembubaran paksa, kata Rivanlee, menjadi tindakan pelanggaran
kebebasan berekspresi terbanyak yakni 67 kasus. Kemudian diikuti dengan
penangkapan secara sewenang-wenang sebanyak 43 kasus.
"Dengan aktor utamanya adalah polisi sendiri," ucap
Rivanlee.
KontraS juga mencatat adanya pemberangusan kebebasan
berekspresi yang berkaitan dengan isu Papua dengan total 25 kasus. Selanjutnya
ada pula isu sumber daya alam atau lingkungan sebanyak 18 kasus.
Angka kasus pembungkapan berekspresi yang bekaitan dengan isu
Papua meunjukkan bahwa cara pandang negara masih sangat represif. Contohnya
pada saat aksi unjuk rasa penolakan otonomi khusus Papua di berbagai daerah
seperti Jakarta, Semarang, Jayapura, hingga Sorong.
Tidak sampai situ, represifitas negara melalui instrumen
kepolisian sepanjang 2021 juga semakin sewenang-wenang. Termutakhir, soal
penghapusan sejumlah mural yang masuk dalam ranah kritik terhadap negara.
Menurut Rivanlee, penghapusan sejumlah mural seperti
"Jokowi 404 Not Found" hingga "Tuhan Aku Lapar" masuk dalam
kategori perburuan. Dalam hal ini, seniman pembuat gambar tersebut dicari oleh
aparat kepolisian.
"Hal itu semakin menunjukkan watak otoritatian
pemerintah yang alergi terhadap kritik publik. Ucapan Presiden yang meminta
masyarakat untuk lebih aktif mengkritik justru tidak dibarengi dengan jaminan
tiap bentuk kritik tersebut," pungkas Rivanlee.
Pada kesempatan yang sama, Koordinator KontraS, Fatia
Maulidiyanti, mengatakan banyak sekali pola keberulangan dalam konteks
pelanggaran HAM di Tanah Air. Misalnya, semakin maraknya pola represifitas
negara kepada masyarakat sipil.
"Kami lihat ada banyak pola keberulangan dan pola
pelanggaran HAM yang terjadi dengan pola yang sama dan marak dan semakin
represif pada warga negara," kata Fatia.
Fatia mengatakan, pada era rezim Jokowi-Ma'ruf, isu HAM tidak
menjadi prioritas dan pertimbangan utama dalam hal pengambilan kebijakan. Malah
sebaliknya, pemerintah malah meniadakan nilai-nilai HAM dengan dalih
pertumbuhan ekonomi dan menjaga stabilitas politik.
"Dengan adanya agenda pembangunan yang tidak berjalan
lurus dengan kemajuan HAM tersebut pada akhirnya berdampak pada nilai HAM itu
sendiri," ungkap dia. (suara)