SANCAnews.id – Koordinator Bidang Pemantauan dan
Penyelidikan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Endang Sri Melani
mengatakan, saksi di sekitar rest area KM 50 diminta untuk mundur dan tidak
mendekat ke tempat kejadian perkara (TKP). Alasannya, kata dia polisi sedang
melakukan penangkapan terkait kasus teroris dan narkotika.
Hal itu disampaikan Endang saat duduk sebagai saksi dalam
sidang lanjutan Unlawful Killing Laskar FPI atas dua terdakwa Briptu Fikri
Ramadhan dan Ipda M Yusmin Ohorella. Sidang itu berlangsung di ruang utama
Pengadilan Negeri Jakarta Selatan, Selasa (30/11/2021).
Keterangan para saksi di lokasi kejadian itu diperoleh Komnas
HAM saat sedang melakukan proses penyelidikan. Kepada Komnas HAM, saksi yang
merupakan pedagang di rest area KM. 50 mengaku tidak boleh mendekat ke TKP.
"Saksi mendengar polisi meminta pengunjung dan pedagang
di rest area km 50 untuk mundur dan tidak mendekat ke TKP dengan alasan ada
penangkapan teroris dan alasan penangkapan narkoba," kata Endang.
Sejumlah saksi itu, kata Endang, juga mengaku dilarang pihak
kepolisian untuk tidak merekam kejadian tersebut. Saat itu, empat anggota
Laskar FPI digelandang keluar daro mobil jenis Chevoret yang telah mengalami
kempes ban.
"Sejumlah saksi mengaku dilarang mengambil foto,"
sambungnya.
Tidak hanya itu, para saksi yang berada di lokasi juga
menjalani serangkaian pemeriksaan ponsel genggam. Kata Endang, ada pedagang
yang diminta untuk menghapus foto dan rekaman video.
"Dan dilakukan pemeriksaan terhadap sejumlah telepon
genggam pedagang dan pengunjung dan diminta menghapus foto dan rekaman
video," jelas Endang.
Henry Yosodiningrat selaku kuasa hukum dua terdakwa
mengajukan interupsi kepada majelis hakim terkait keterangan yang disampaikan
oleh Endang. Dia menyebut bahwa apa yang disampaikan Endang semuanya
berdasarkan keterangan orang lain.
Menurut Henry, saksi yang menyampaikan keterangan kepada
Endang harus disebutkan identitasnya. Hal itu diminta agar tidak timbul fitnah
dan seolah-olah kepolisian menekan masyarakat dengan cara menghapus foto dan
video.
"Ini harus harus, siapa identitas orang yang dimintai
keterangan soal diminta hapus foto dan rekaman. Kita hadirkan di sini agar
tidak terjadi fitnah, seakan-akan kepolisian negara RI, Polda Metro Jaya
menekan warga masyarakat," sela Henry.
Hakim ketua M. Arif Nuryanta langsung bertanya kepada Endang,
apakah saksi tersebut boleh disebutkan identitasnya atau tidak. Sontak, Endang
membalas jika saksi mengalami ketakutan dan berharap namanya tidak disebutkan.
"Karena itu memang informasi yang kami peroleh,
masyarakat sudah cukup ketakutan saat itu dan berharap tidak disebutkan
namanya. Tapi dia adalah orang yang mengetahui dan melihat pada saat
kejadian," papar Endang.
Lagi-lagi Henry merespons pernyataan Endang. Menurut dia,
sudah ada lembaga yang bisa memberikan perlindungan kepada saksi, yakni LPSK.
"Agar tidak terjadi fitnah, toh didampingi LPSK, adakan
sidang tertutup khusus untuk pemrriksaan saksi itu, supaya dihadirkan benar
atau tidak keterangan orang itu," papar Henry.
"Nanti kami yang menilainya itu," kata hakim Arif
Nuryanta.
Sejurus kemudian, JPU kembali meminta Endang untuk bisa
membacakan ihwal temuan Komnas HAM di kawasan rest area KM. 50. Dalam
lanjutannya, Endang menyatakan bahwa saksi melihat empat orang diturunkan dalam
kondisi masih hidup dan kemudian ditiarapkan di badan jalan.
Endang melanjutkan, saksi juga melihat satu orang diturunkan
dari mobil dalam kondisi luka tembak. Saksi juga melihat ada ceceran darah di
lokasi kejadian.
Tidak hanya itu, saksi juga disebutkan meliaht satu korban
dari Laskar FPI tergeletak di bagian jok kiri depan mobil. Sedangkan empat
anggota Laskar FPI yang masih hidup mendapatkan perlakuan kekerasan dengan cara
dipukul dan di tendang.
"Mendapatkan perlakuan kekerasan dengan cara dipukul dan
di tendang," ucap Endang.
Kepada pihak Komnas HAM, saksi di lokasi juga melihat
beberapa benda, dalam hal ini senjata tajam, diturunkan dari mobil. Kemudian,
benda-benda itu ditaruh di sebuah kursi di depan warung milik pedagang.
Endang menyebut, saksi juga melihat korban yang telah tewas
dimasukkan ke dalam bagasi mobil. Sedangkan, empat anggota Laskar FPI yang
masih hidup dimasukkan ke dalam sebuah mobil.
"Saksi melihat korban yang sudah meninggal dimasukkan ke
dalam bagasi sebuah mobil. Saksi melihat empat orang yang masih hidup
dimasukkan ke dalam sebuah mobil," papar Endang.
Unlawful Killing
Endang turut menjelaskan mengapa kasus ini dikatakan sebagai
"Unlawful Killing" atau pembunuhan di luar proses hukum. Menurut dia,
tewasnya empat anggota Laskar FPI di dalam mobil masih berada dalam penguasan
aparat yang tanpa prosedur.
"Peristiwa itu terjadi tanpa adanya prosedur. Yang kami
temukan, pertama, korban meninggal dunia. Kedua, korban tersebut berada dalam
penguasaan resmi dari aparat negara. Ketiga, tidak ada upaya untuk
meminimalisasi," kata Endang.
Kata Endang, aparat kepolisian yang memindahkan keempat
anggota Laskar FPI ke dalam mobil tidak menerapkan prinsip waspada. Pasalnya,
empat anggota Laskar FPI yang sedianya dibawa ke Mapolda Metro Jaya dari KM 50
tidak diborgol.
"Pada saat anggota polisi membawa empat orang tersebut
ke dalam mobil, tidak mengindahkan prinsip kehati-hatian dan juga ancaman
terhadap jiwa karena posisi petugas dan korban tidak seimbang," jelas
Endang.
Tidak sampai situ, polisi yang bersama para anggota Laskar
FPI tidak dapat merespons ekskalasi situasi secara tepat. Endang menyebut,
polisi tidak melakukan upaya antisipasi terkait situasi tersebut.
"Kami sudah sampaikan bahwa terjadi ekskalasi sedang,
rendah, ke tinggi. Dalam proses ekskalasi terdapat perubahan situasi. Nah ini
tidak diantisipasi, misal dengan meminta bantuan atau peralatan dari kepolisian
setempat. Ini jadi pertanyaan kenapa tidak ada upaya lain untuk meminimalisasi
(peristiwa)."
Dakwaan Jaksa
Dalam surat dakwaan yang dibacakan, terdakwa Briptu Fikri dan
Ipda Yusmin didakwa melakukan tindakan penganiayaan yang mengakibatkan kematian
secara bersama-sama. Dalam kasus ini, total enam eks Laskar FPI tewas tertembus
timah panas.
Atas hal itu, jaksa menyatakan, perbuatan Fikri Ramadhan dan
M. Yusmin Ohorella merupakan tindak pidana sebagaimana diatur dan diancam dalam
Pasal 338 KUHP jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP subsider Pasal 351 Ayat (3) KUHP
jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 KUHP.