SANCAnews – Daya beli rakyat terpukul karena
peredaran uang di masyarakat sedikit. Penyebabnya karena utang di era Presiden
Joko Widodo semakin menggunung.
Begitu kata ekonom senior, Rizal Ramli (RR) saat siaran
langsung di akun YouTube Dr. Rizal Ramli, Rabu siang (20/10).
Rizal Ramli mengurai bahwa di tahun 2020 pembayaran pokok
utang saja mencapai Rp 400 triliun. Sedang untuk membayar bunga utang sebesar
Rp 370 triliun. Sehingga total sekitar Rp 770 triliun habis untuk urus utang.
Buntutnya, pemerintah harus terus meminjam dengan bunga yang lebih tinggi.
“Hal ini memaksa Bank Indonesia untuk membeli surat utang
negara dimonitisasi utang itu, seolah-olah cetak uang," ujar Menko
Perekonomian era Presiden Gus Dur itu.
Kondisi demikian mengakibatkan pertambahan uang yang beredar
dan kredit di masyarakat sangat kecil. Bahkan yang terjadi adalah bank, lembaga
keuangan, orang kaya lebih senang membeli Surat Utang Negara (SUN) karena
yield-nya 6,5 persen serta nol resiko.
"Berbeda sama Bank kalau kasih kredit sama nasabah.
Margin gross saja 3 persen. Belum resikonya. Jadi kebanyakan lembaga keuangan,
Bank, orang kaya, dan pensiun, dia berlomba-lomba membeli SUN, karena lebih
aman, tidak ada resikonya," kata RR.
Akibat dari itu,pertambahan kredit tahun 2020 minus 3 persen.
Sedangkan pada November 2021 kemarin, minus 1 persen. Artinya, uang yang ada di
masyarakat disedot oleh lembaga keuangan.
“Disedot untuk pada membeli surat utang negara, istilahnya
ekonominya crowding out effect. Ini lah yang menjelaskan kenapa daya beli
rakyat biasa hancur, bukan hanya karena Covid, nggak ada pendapatan, nggak ada
pekerjaan, uang beredar sedikit sekali," jelas RR.
“Banyak ekonom nggak paham ini," tutupnya. (rmol)