SANCAnews – Sebuah riset terbaru menyebutkan bahwa China menjerat negara-negara miskin dengan utang yang luar biasa dengan proyek luar negerinya. Dari riset disebutkan bahwa China menjerat negara-negara tersebut dengan total utang senilai $385 miliar atau lebih dari Rp5.504 triliun.

 

Para peneliti mengatakan, utang tersebut diberikan China ke 165 negara untuk proyek-proyek Belt and road Initiative (BRI), dengan pinjaman yang secara sistematis tidak dilaporkan ke badan-badan internasional seperti Bank Dunia.

 

“Beban utang disimpan dari neraca publik melalui penggunaan tujuan khusus dan pinjaman semi-swasta, dan secara substansial lebih besar daripada lembaga penelitian, lembaga pemeringkat kredit, atau lembaga antar pemerintah. organisasi dengan tanggung jawab pengawasan yang dipahami sebelumnya,” kata laboratorium penelitian yang berbasis di AS, AidData melansir The Guardian, Jumat 1 Oktober 2021.

 

Dari studi itu ditemukan 42 negara berpenghasilan rendah hingga menengah (LMIC) memiliki eksposur utang ke China melebihi 10 persen dari PDB mereka, termasuk Laos, Papua Nugini, Maladewa, Brunei, Kamboja, dan Myanmar.

 

Laporan itu mengungkap, Laos memiliki proporsi signifikan dari utangnya yang digolongkan oleh AidData sebagai ‘tersembunyi’. Proyek kereta api China-Laos senilai $5,9 miliar dan seluruhnya didanai dengan utang tidak resmi yang setara dengan sekitar sepertiga dari PDB-nya.

 

Program BRI diluncurkan pada tahun 2013 lalu sebagai investasi internasional ala Xi Jinping. Sejak saat itu, ratusan negara berpenghasilan rendah hingga menengah mendaftar untuk mendapatkan pinjaman China untuk membangun proyek infrastruktur besar-besaran.

 

Dalam laporan tersebut, AidData memeriksa lebih dari 13.000 proyek BRI senilai lebih dari $843 miliar di 165 negara antara tahun 2000 dan 2017.

 

Ditemukan bahwa pinjaman luar negeri China telah bergeser dari pinjaman antar pemerintah selama era pra-BRI, menjadi hampir 70 persen sekarang beralih ke perusahaan milik negara dan bank, perusahaan patungan, dan lembaga swasta.

 

Hal ini menyebabkan kurangnya pelaporan kewajiban pembayaran menjadi sekitar $385 miliar karena peminjam utama bukan lagi lembaga pemerintah pusat.

 

Dari 100 lebih negara yang terlibat dalam utang ke China untuk program BRI, terdapat kekhawatiran risiko jangka panjang tentang transparansi dan kemungkinan adanya ‘diplomasi buku utang’ di beberapa negara, yang bisa menyebabkan negara-negara tersebut menyerahkan kepemilikan atau kendali atas aset utama mereka kepada Beijing sebagai ganti pembayaran, jika tidak bisa membayar.

 

Namun, laporan tersebut mencatat penyitaan aset sebagai pengganti pembayaran hanya diperbolehkan dalam skema pinjaman antar-pemerintah langsung. (hops)


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.