SANCAnews – Tri Artining Putri atau Puput dan
Ita Khoiriyah atau Tata blak-blakan mengungkap cerita pelecehan seksual yang
terjadi dalam Tes Wawasan Kebangsaan (TWK) yang menjadi syarat alih status
pegawai KPK menjadi ASN. Dua wanita ini masuk dalam 57 pegawai KPK yang kini
resmi dipecat dari KPK, 30 September 2021, Kamis kemarin.
Dalam wawancara eksklusif dengan Suara.com, pada Jumat (24/9/2021),
Puput pun mengulas lagi soal pertanyaan-pertanyaan dalam TWK yang cenderung
seksis. Puput mengaku sempat dicecar oleh penguji TWK seperti soal orientasi
seksual hanya karena belum menikah di umurnya yang kini beranjak 30 tahun.
“Terus (teman) ditanya kenapa belum nikah terus dijawab, aku
enggak tahu, dia jawab apa, tapi dituduh gay, dituduh lesbi karena perempuan.
Masih punya hasrat enggak? Kamu LGBT ya? Di-gituin,” kata dia.
Selain menyasar ke wanita, Puput pun mengaku pegawai
laki-laki juga ikut merasakan adanya diskriminasi gender saat mengikuti program
TWK.
“Bahkan, teman yang laki-laki pun ada yang ditanyain kenapa
belum nikah. Terus, suka nonton video porno atau enggak. Yang kayak gitu-gitu.
Apa? Terus kalau gue suka nonton video porno mau disuplai apa gimana? Iya loh,
apa ya? Aku juga enggak ngerti deh maksudnya tolong lah,” tuturnya.
Tepatnya pada 11 Mei 2021, Puput dan teman-teman pegawai KPK
mengadu ke Komnas Perempuan setelah merasa mendapatkan pelecehan seksual maupun
diskriminasi gender dalam pertanyaan yang diajukan penguji TWK.
“Beberapa temen WhatsApp aku, aku salurkan gitu ke
teman-teman dan waktu itu didampingin juga kan sama teman-teman,” ujarnya.
Kecewa
Aduan memang diterima oleh Komnas Perempuan, tetapi yang
membuat Puput kaget, hasil dari tindak lanjut pengaduan tersebut hanya berupa
rekomendasi yang ditujukan kepada Badan Kepegawaian Negara (BKN) dan KPK.
“Jadi, aku juga enggak ngerti tapi Komnas Perempuan tuh hasil
akhirnya tuh rilis (rekomendasi) ternyata. Rilis dan bersurat ke sekjen,
bersurat ke pimpinan KPK ini tentang tes wawasan kebangsaan ini,” jelasnya.
Puput jelas kebingungan dengan mekanisme yang dilakukan
Komnas Perempuan. Padahal menurut Puput, apa yang dilakukannya bersama
teman-teman pegawai KPK lainnya bukan hanya sekedar mengadu pelecehan seksual
yang dialami mereka dalam proses TWK.
Tetapi mereka jelas melakukan pengaduan karena adanya
pelecehan seksual dan ada kekerasan berbasis gender pada proses peralihan
status pegawai menjadi aparatur sipil negara (ASN) yang melibatkan pemerintah.
Lagipula pengaduan yang mereka lakukan bukan semata-mata
untuk melindungi para pegawai KPK yang menjadi korban TWK. Akan tetapi juga
untuk memancing masyarakat lainnya untuk berani melakukan pengaduan apabila
mengalami hal serupa.
Puput juga merasa kecewa karena tidak ada kelanjutan pasti
dari Komnas Perempuan. Terlebih, ia sudah memahami kalau para pimpinan KPK akan
tutup mata, tutup telinga saat menerima rekomendasi tersebut.
“Nah, yang mengecewakannya lagi adalah sekjen dan pimpinan
kayaknya bodo amat gitu lho, ya. Karena enggak ada tindak lanjut juga. Jadi, ya
sulit udah gitu. Mungkin disuruh terima saja deh,” kata dia.
Dibikin Nangis
Setelah mendengar keterangan tersebut, Puput malah
bertanya-tanya mengapa BKN meminta maaf kepada Komnas Perempuan bukan kepada
korban.
“Yang kemaren nangis-nangis ketika diwawancarai, ya, harus
dapat permintaan maaf dong, Nah ini yang kami dorong ya kalau mau ada minta
maaf, minta maafnya terbuka atau minimal minta maafnya kepada para korban
dong,” jelasnya.
Puput juga menyinggung kalau Komnas Perempuan seolah tidak
peka dengan kondisi korban pasca mendapatkan pertanyaan-pertanyaan melecehkan.
“Enggak ada!” tegasnya.
Tak Menyerah
Meski begitu, tidak ada kata menyerah dari Puput dan
teman-teman pegawai KPK lainnya. Walaupun Komnas Perempuan tidak bisa menemukan
solusi pasti, mereka tetap akan berjuang di Komisi Nasional Hak Asasi Manusia
(Komnas HAM).
“Kami fight terus. Karena memang pelanggarannya ternyata
bukan cuma pelecehan seksual itu kan jelas pelanggaran HAM,” kata Puput.
Kekecewaan juga tidak dapat disembunyikan oleh Ita Khoiriyah
atau akrab disapa Tata. Tata menjadi salah satu pegawai KPK yang turut
melakukan pengaduan kepada Komnas Perempuan.
Ia memahami kalau Komnas HAM berdiri sebagai lembaga yang
tidak memiliki kewenangan hingga ke proses penyelidikan. Akan tetapi ia
menyayangkan kalau Komnas Perempuan tidak memanfatkan momentum tersebut untuk
melakukan perbaikan. Padahal di balik pengaduan tersebut, Tata bersama
teman-teman pegawai KPK lainnya ingin menyuarakan kritik jangan sampai ada
lembaga negara lain yang bisa semena-mena dalam proses wawancara bahkan hingga
menyertakan pertanyaan mengandung kekerasan seksual.
“Ini saja terjadi pada lembaga KPK yang mendapat sorotan
publik bagaimana dengan lembaga – lembaga lain yang mungkin secara posisinya
itu tidak sekuat KPK, mungkin orang-orangnya tidak se-power, tidak sepercaya
diri kami melaporkan dan speak up ke publik gitu, yang kami khawatirkan itu,”
kata Tata.
Kata Puput, pihak Komnas Perempuan menyatakan kalau BKN mengakui
telah luput soal proses wawancara TWK. Mereka mengaku melakukan kesalahan
dengan tidak briefing para asesor sampai akhirnya muncul pertanyaan-pertanyaan
yang seksis.
Tata juga menyayangkan proses klarifikasi yang dilakukan
Komnas Perempuan dengan BKN dilakukan secara tertutup. Itu artinya para pengadu
yang juga berstatus sebagai korban tidak pernah dilibatkan.
Informasi itu juga ia dapatkan bukan dari pihak Komnas
Perempuan langsung melainkan dari sebuah webinar yang Tata ikuti.
Setidaknya terdapat tiga poin yang disampaikan Komnas
Perempuan kepada KPK melalui surat rekomendasi. Tiga poin yang dimaksud ialah
membuka sarana pengaduan bagi para pegawai KPK yang merasa mendapat perlakuan
yang tidak etis saat wawancara, kemudian yang kedua adalah mendorong KPK untuk
menginformasikan hasil dari TWK kepada seluruh pegawai yang mengikuti proses
tes, dan pemulihan atau rehabilitasi kepada korban – korban yang terdampak
dalam proses TWK.
Tetapi senada dengan Puput, Tata juga meyakini kalau pihak
KPK akan menggubris rekomendasi yang disampaikan Komnas Perempuan.
“Sayangnya tiga rekomendasi yang dikeluarkan Komnas Perempuan
kepada KPK itu tidak ditanggapi, kami kemudian melaporkan kepada Komnas
Perempuan sekali lagi, bahwa KPK tidak menindaklanjuti hasil rekomendasi
tersebut.” (suara)