SANCAnews.id – Tuntutan agar Joko Widodo mundur
dari jabatannya sebagai Presiden disampaikan Badan Eksekutif Mahasiswa (BEM)
Seluruh Indonesia (SI), dalam aksi unjuk rasa di Patung Arjuna Wiwaha atau
Patung Kuda, Jakarta Selatan, Kamis siang (21/10).
Suara lantang mahasiswa ini disebabkan pada masa dua tahun
periode kedua pemerintahan Jokowi yang dinilai sudah tidak lagi berpihak pada
kepentingan masyarakat.
Bagi pakar hukum tata negara, Refly Harun, tidak ada yang
salah dengan desakan BEM SI yang disuarakan saat menggelar aksi.
"Bolehkah menyampaikan aspirasi seperti ini? Saya
katakan boleh," ujar Refly Harun di saluran YouTube miliknya, Senin
(21/10).
Dikatakan Refly Harun, pergantian presiden adalah sah dan
diatur di dalam konstitusi UUD 1945. Tepatnya, dibagi pada dua jenis pergantian
melalui pemilu dan pergantian di luar pemilu.
"Kalau pergantian di dalam Pemilu itu pasal 7 UUD 1945
itu dilakukan sekali dalam lima tahun, kalau Pemilu normal," katanya.
Untuk pergantian di luar pemilu, dikatakan Refly, ada dua
cabang yakni berhenti atau diberhentikan.
"Diberhentikan itu impeachment, dan itu (harus melalui)
proses politik di DPR, proses hukum di MK, proses politik lagi di DPR dan
proses politik lagi di MPR RI, relatif agak sulit dan pasti tidak mudah,"
terangnya.
"Kedua adalah berhenti, yaitu berhalangan tetap dan yang
kedua mengundurkan diri. Berhalangan tetap itu bisa meninggal, bisa karena
sakit permanen, bisa juga gila dan sebagainya," sambungnya.
Terkait tuntutan BEM SI, Refly memastikan cara itu tidak
salah karena masih dilakukan dalam jalan legal konstitusional. Akan berbeda
cerita, jika presiden diturunkan paksa atau dikudeta.
"Nah yang dituntut mahasiswa ini adalah mengundurkan
diri, jadi itu konstitusional meminta presiden mengundurkan diri, yang
inkonstitusional itu adalah kudeta," pungkasnya. (rmol)