SANCAnews – Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi
(KPK) periode 2011-2015 Abraham Samad nampak gusar dengan leganya sejumlah
pihak ketika 57 eks pegawai KPK mendapatkan opsi untuk direkrut dan dilantik
menjadi Aparatur Sipil Negara (ASN) di Bareskrim Polri.
Kapolri Jenderal Pol Listyo Sigit Prabowo diketahui telah
mendapatkan persetujuan dari Presiden Joko Widodo soal usulannya menarik 57
orang tersebut ke Korps Bhayangkara.
Dengan nada agak meninggi, Samad menjelaskan persoalan yang
dihadapi Novel Baswedan dkk bukanlah bisa diangkat menjadi ASN atau tidak.
Melainkan di institusi mana mereka pada akhirnya mengabdi.
"Yang menjadi persoalan bukan apakah teman-teman ini
bisa diangkat menjadi ASN atau tidak. Mungkin kalau dikatakan teman-teman ini
masih bisa diangkat menjadi ASN, sangat berpeluang. Tapi yang saya khawatirkan
mereka ditempatkan di institusi lain, itu yang kita khawatirkan," kata
Samad, Sabtu (2/10/2021).
Apabila benar nantinya 57 eks pegawai KPK merapat ke
Bareskrim Polri, Samad melihat agenda pemberantasan korupsi yang tetap
menggeliat pasca revisi UU KPK bisa sama sekali terhenti.
Dengan sedikit membenarkan letak kacamata yang menggantung di
telinganya, penyelamatan pemberantasan korupsi disebutnya hanya bisa dilakukan
jika mereka yang dipecat itu tetap dipertahankan dan bekerja di Gedung Merah
Putih KPK.
Temuan Ombudsman dan Komnas HAM soal tes wawasan kebangsaan
(TWK) kembali disinggung Samad.
Bahwa seyogyanya tidak ada alasan untuk tidak mengangkat 57
orang tersebut kembali menjadi ASN yang bertugas di KPK.
"Mengangkat mereka menjadi ASN di tempat lain saya rasa
itu bukan solusi ideal ya. Solusi ideal menurut saya adalah mengembalikan
mereka kepada posisi semula. Karena proses pemberhentian teman-teman ini ada
pelanggaran hukumnya, itulah masalah yang harus diselesaikan," ucapnya.
"Dengan begitu, itu akan merehabilitasi harkat martabat
teman-teman yang sudah diberhentikan. Bagaimana caranya? Jadi teman-teman ini
diangkat jadi ASN di KPK supaya bisa melakukan pekerjaan dan perjuangan
pemberantasan korupsi lagi," tambahnya.
Tak lama, Samad menyimak seksama pertanyaan yang diajukan
peserta diskusi. Bertopang dagu, sesekali dia menggerakkan telapak tangan di
dagunya yang dipenuhi janggut yang beruban.
Kernyitan dahi Samad tak bisa disembunyikan ketika peserta bersikukuh
menyebut pelanggaran TWK merupakan tanggung jawab BKN sebagai pelaksana dan
bukan salah KPK sebagai user.
Samad menjawab bahwa bisa jadi tidak sepenuhnya pelanggaran
TWK itu harus diarahkan kepada KPK, sebab ada kontribusi yang diberikan BKN di
dalamnya.
Namun fokus persoalan disebutnya ada pada persetujuan
pimpinan KPK untuk memecat 57 orang itu.
"Yang jadi persoalan sebenarnya bahwa pemberhentian 57
pegawai KPK itu kan dikeluarkan oleh KPK, ditandatangani oleh Ketua KPK dan
para komisioner. Itu yang jadi problem. Ya mungkin ada benarnya bukan hanya
pada KPK nya yang melakukan pelanggaran, tapi BKN juga," ucapnya.
Di sisi lain, Samad menyebut masalah ini jangan hanya dilihat
pada ujungnya, dimana 57 orang ini pada akhirnya dipecat.
Namun selama ini ada proses dan upaya untuk mengeliminasi
atau mengeluarkan mereka yang sempat nonaktif itu.
Sebab mereka adalah orang yang dianggap progresif dan
menjalankan tugasnya memberantas korupsi.
Bahkan kasus ditangkapnya eks Wakil Ketua DPR RI Azis Syamsuddin
tidak dapat mewakili pandangan bahwa KPK tetap dapat bekerja maksimal tanpa
ke-57 orang tersebut.
"57 orang itu kan dianggap progresif di KPK, mereka
adalah orang yang tidak bisa diajak kompromi terhadap pelanggaran-pelanggaran.
Mereka lah yang sebenarnya selama ini tetap menjaga integritas KPK. Jadi ada
proses pendahuluan yang bisa kita lihat bahwa ada upaya sistematis untuk
mengeliminir keberadaan mereka di KPK," kata Samad.
"Kalau tadi dikatakan KPK masih bisa menetapkan Azis
Syamsuddin sebagai tersangka, saya pikir tidak bisa dilihat secara kasuistis
per kasus. Tapi harus kita lihat ada persoalan jauh sebelumnya sehingga kita
bisa simpulkan ada pelemahan terhadap pemberantasan korupsi. Banyak masalah
yang dapat kita lihat sebelum proses TWK dilaksanakan, itu yang jadi
masalah," ucapnya.
"Jadi harus dilihat dari satu kesatuan bukan diujungnya
saja yang kita lihat proses pemberhentiannya tapi ada beberapa proses, kejadian
yang kita bisa mengindikasikan bahwa ada upaya-upaya untuk mengeliminir keberadaan
mereka di KPK," tandasnya. (tribunnews)