SANCAnews.id – Kondisi bangsa dan negara Indonesia selama 2 tahun di bawah pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Maruf Amin mendapat apresiasi Pengurus Pusat Gerakan Mahasiswa Kristen Indonesia (GMKI). Meskipun tetap ada sejumlah catatan yang jadi rapor merah yang harus jadi bahan evaluasi pemerintah.

 

"Kita mengapresiasi kinerja pemerintah khususnya penanganan Covid 19 yang berhasil dikendalikan sampai saat ini dan tingkat kesadaran masyarakat untuk berpartisipasi dalam kegiatan vaknisasi yang tinggi. Kemudian pemerintah juga berhasil mengendalikan ekonomi sehingga dapat tumbuh hingga 7,07% di kuartal II-2021," ucap Ketua Umum PP GMKI, Jefri Gultom, Rabu (20/10).

 

"Namun ada beberapa catatan kritis di bidang pemberantasan korupsi, penegakan hukum, peningkatan kualitas pendidikan, dan demokrasi,” imbuhnya.

 

Untuk itu GMKI menilai ada lima rapor merah dalam 2 tahun kepemimpinan Jokowi-Maruf.

 

Pertama, meskipun ekonomi tumbuh tetapi jumlah penduduk miskin dan pengangguran juga ikut meningkat sepanjang 2020-2021.

 

Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS), angka kemiskinan dari Maret 2020 - Maret 2021 mengalami peningkatan sebesar 1,12 juta orang. Dalam periode yang sama, tingkat pengangguran meningkat hingga 1,82 juta orang. Hal ini tentu tidak seiring sejalan dengan pertumbuhan ekonomi yang diklaim cukup tinggi yakni 7,07%.

 

Menurut Jefri, peningkatan angka kemiskinan dan pengangguran terjadi akibat pandemi Covid-19 yang berkelanjutan. Juga adanya paket kebijakan pemulihan ekonomi nasional yang tidak tepat sasaran, serta implementasinya mengalami masalah dan berpotensi merugikan keuangan negara.

 

Selain itu, implementasi kartu prakerja dianggap bermasalah, karena KPK menemukan hanya sebagian kecil dari sasaran pekerja yang terdampak Covid-19. Ditambah, platform digital memiliki konflik kepentingan dengan lembaga penyedia pelatihan seperti Ruang Guru yang dimiliki oleh Staf Khusus Milenial Presiden.

 

Undang-Undang Cipta Kerja yang disahkan pada 2020 ikut memperburuk situasi tenaga kerja karena hanya mementingkan kemudahan investasi bagi para pengusaha. Pada visi-misi Joko Widodo-Maruf Amin tahun 2019 menekankan reformasi ketenagakerjaan, namun faktanya pengangguran meningkat.

 

Kedua, pemberantasan korupsi memburuk. Hingga 2020 terdapat 1.298 terdakwa kasus korupsi yang membuat kerugian negara hingga Rp 56,7 triliun. Presiden mengatakan komitmen untuk menciptakan pemerintahan yang bersih dan ikut serta memberantas korupsi.

 

Namun faktanya, kata Jefri, dua Menteri kabinet Indonesia Maju ditangkap oleh KPK dan mencoreng wajah pemerintah. 

 

"Korupsi bantuan sosial yang dilakukan oleh Menteri Sosial merupakan pencurian hak masyarakat di era pandemi," tegas Jefri.

 

Ketiga, pola penegakan hukum Indonesia dinilai masih tebang pilih dan terkesan menunggu respons publik. Penegak hukum yang belum lepas dari pola suap masih berlanjut. Seperti kasus yang menyita perhatian publik yaitu kasus jaksa Pinangki yang menerima suap dari buronan Djoko Tjandra hingga melibatkan petinggi Mabes Polri.

 

Penindakan para penyalahgunaan jabatan tidak mengalami efek jera sehingga terus berulang, reformasi penegakan hukum tidak berjalan dengan baik, kata Jefri.

 

Keempat, pengelolaan pendidikan Indonesia belum mengalami perubahan yang berarti, kebijakan mengenai pendidikan online tidak efektif dan diskriminatif, masih banyak daerah belum dapat mengakses internet.

 

Sehingga para pelajar di daerah pelosok mengalami kesulitan proses belajar mengajar, kurikulum yang inkonsisten dan berubah-ubah hingga menimbulkan kegaduhan.

 

Pada visi-misi Joko Widodo-Maruf di 2019 terdapat point mengembangkan reformasi sistem pendidikan namun hingga tahun 2021 sistem pendidikan masih diskriminatif dan tidak merata. Hal ini menjadi preseden buruk bagi generasi masa depan.

 

Kelima, iklim demokrasi Indonesia pada 2 tahun terakhir mengalami penurunan. menurut laporan The Economist Intelligence Unit pada 3 Februari 2021, IDI (Indeks Demokrasi Indonesia) pada 2019 adalah 6,48 dan pada 2020 menjadi 6,3. Terendah dalam 14 tahun terakhir.

 

Dua dari lima indikator penilaian mengalami penurunan yang sangat drastis, yaitu soal kebebasan berpendapat dan budaya politik sebesar 20%. Penurunan tersebut terlihat dari beberapa hal pelanggaran demokrasi seperti penangkapan aktivis, pembubaran demonstrasi, tindakan represif aparat, hingga pembungkaman masyarakat melalui peretasan media sosial.

 

Ketua Umum PP GMKI, Jefri Gultom, pun meminta Jokowi untuk mengevaluasi kinerja para pembantunya yang jauh dari visi misi presiden.

 

PP GMKI juga mengharapkan pada pemerintah agar lebih terbuka untuk mendengarkan kritikan publik, karena demokrasi menjamin kebebasan berekspresi dan berpendapat.

 

Ditegaskan Jefri, iklim demokrasi yang telah diperjuangkan sejak masa reformasi seharusnya dirawat dan terus diperjuangkan sehingga ada check and balances.

 

“Kami menilai dua tahun terakhir ini jadi tahun-tahun yang sulit namun tetap menjadi tanggung jawab pemerintah. Karena rakyat sudah memberikan kepercayaan dan harapan,” demikian Jefri Gultom. (rmol)


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.