SANCAnews – Wakil Ketua MPR Syarief Hasan
menyoroti bantuan dana dari International Monetary Fund (IMF) dalam bentuk
fasilitas Special Drawing Rights (DSR) sebesar USD 6,32 miliar atau setara Rp
90,2 triliun.
Dana bantuan ini praktis membuat cadangan devisa Indonesia
bertambah menjadi USD 144,8 miliar per Agustus 2021.
Jumlah ini naik dibandingkan pada Juli lalu sebesar USD 137,3
miliar. Kondisi ini praktis ruang fiskal Indonesia semakin longgar.
Menurut Menteri Koperasi dan UKM di era Presiden SBY ini,
dana bantuan IMF ini akan menimbulkan masalah tersendiri, yakni beban utang
yang lebih besar.
"Di masa depan, dikhawatirkan justru membuat tekanan
terhadap APBN menguat, bahkan menjadi beban fiskal yang akan diwariskan oleh
pemerintah berikutnya dan menjadi tanggungan rakyat," ujarnya.
Syarief menegaskan, seharusnya pemerintah bisa mengaca pada keberhasilan Pemerintahan SBY yang berhasil melunasi utang pada IMF pada 2006, lebih cepat 4 tahun dari yang dijadwalkan. Bukan sebaliknya justru menambah utang.
“Pemerintah tidak bisa berkelit bahwa dana bantuan IMF ini
adalah utang. Apakah khusus untuk DSR ini jangka waktu pengembaliannya lebih
longgar, utang ini tetap mesti dilunasi. Bahkan pertanyaan paling pokoknya,
apakah kita memang benar-benar membutuhkan dana bantuan ini?" kata anggota
Majelis Tinggi Partai Demokrat ini.
Syarief menegaskan, pemerintah mengambil langkah keliru jika
tidak begitu membutuhkan bantuan tersebut.
"Jika benar fundamental ekonomi masih cukup kuat, kita
tidak membutuhkan tambahan utang baru,” tegasnya.
Padahal, lanjut Syarief, yang namanya utang tetap harus
dilunasi, apalagi ada bunga yang juga mesti dibayar.
Politisi senior Partai Demokrat ini berpandangan pemerintah
harus sangat berhati-hati menambah utang baru.
Sebab, utang yang sudah ada saja sudah memberikan tekanan
yang teramat berat terhadap APBN, apalagi ditambah dengan jumlah utang yang
nilainya Rp 90,2 triliun.
“Saya sangat menyayangkan sikap pemerintah yang masih saja
doyan mengobral utang. Sementara di sisi lain, pemerintah kerapkali
membanggakan pertumbuhan ekonomi mengesankan. Realisasi ekspor neto dan
investasi meningkat. Ini jelas sebuah anomali, bahkan kebijakan yang tidak
tepat arah," sesal Syarief.
Dia kembali menegaskan, jika pemerintah cukup percaya diri
dengan kinerja perekonomian, seharusnya tidak perlu menambah utang baru.
Apalagi, menurut Syarief, posisi utang per Juli 2021 telah
mencapai angka Rp 6.570,17 triliun atau 40,51 persen dari PDB.
Pada APBN 2022, pemerintah mengalokasikan pembayaran bunga
utang sebesar Rp 405,9 triliun, lebih besar 10,8 persen dari outlook 2021.
Jika memang pemerintah mengklaim dana bantuan IMF ini
diberikan tanpa diminta, maka sudah seharusnya pemerintah berani menyatakan
Indonesia tidak membutuhkan tambahan utang baru.
“Saya khawatir pemerintah mengambil resiko besar yang justru
akan ditanggung bersama oleh seluruh rakyat Indonesia. Jelas kinerja utang kita
menunjukkan indikator yang mencemaskan,” pungkas Syarief. (jpnn)