SANCAnews – Pernyataan Menteri Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan
Keamanan (Menko Polhukam) Mahfud MD kembali menyita perhatian publik. Tepatnya
saat Mahfud berbicara di acara Haul ke-12 Gus Dur yang disiarkan di kanal
YouTube NU Channel Minggu (22/8).
Dalam pernyataannya itu, Menko Mahfud menyebut pelengseran
Presiden ke-4 RI Abdurrahman Wahid atau Gus Dur tidak sah dari sudut pandang
hukum tata negara menyita perhatian publik.
Bagi Direktur Eksekutif Parameter Indonesia, Adi Prayitno,
Mahfud MD tidak cukup hanya menyatakan pelengseran Gus Dur tidak sesuai hukum.
Tetapi, siapa yang menggerakkan sampai dilanggarnya hukum itu juga harus
disebutkan.
"Mahfud ini mestinya jangan hanya bicara hukum tata
negara, tapi dia mestinya harus me-mention siapa aktor-aktor yang yang
melakukan itu," ujar Adi kepada Kantor Berita Politik RMOL, Kamis (2/9).
Menurutnya, ada banyak pihak yang ada dalam sistem
pelengseran Gus Dur. Terutama, MPR RI kala itu yang punya hak untuk mengangkat
dan memberhentikan jabatan presiden.
"Tentu sifatnya kolektif kolegial MPR, karena Gus Dur
diberhentikan oleh MPR yang berhak untuk itu, apalagi tuduhan-tuduhan kepada
Gus Dur tidak bisa dibuktikan, Buloggate dan Bruneigate kan cuma gosip
saja," katanya.
Akademisi UIN Syarif Hidayatullah Jakarta ini menekankan,
agar Mahfud bisa meluruskan sejarah lengsernya Gus Dur. Siapa aktornya dan
siapa yang mendapat keuntungan.
"Siapa yang melakukan itu (pelengseran Gus Dur)? Sehingga
tidak ada tuduhan yang mengarah pada seseorang yang mengambil manfaat dari
pelengseran Gus Dur," pungkasnya.
Mahfud MD mengatakan, penjatuhan Gus Dur pada 2001 tidak
sesuai dengan Ketetapan MPR 3/1978 tentang Kedudukan dan Hubungan-Tata Kerja
Lembaga Tertinggi Negara dengan/atau Lembaga-Lembaga Tinggi Negara.
Mahfud menjelaskan, salah satu bunyi TAP MPR tersebut adalah
penjatuhan Presiden dapat dilakukan apabila 'benar-benar' melanggar haluan
negara dengan diberi memorandum I, II, dan III. []