SANCAnews – Komisi untuk Orang Hilang dan
Korban Tindak Kekerasan (KontraS) menilai pemerintahan saat ini masih sangat
membatasi kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh masyarakat. KontraS
menyebut pembatasan tersebut menunjukkan bahwa negara tak lagi setia pada
demokrasi, melainkan menunjukkan gejala otoritarianisme.
"Pemerintahan Joko Widodo masih alergi dengan
kritikan-kritikan yang disampaikan oleh warganya. Hal ini kontradiktif dengan
pernyataan Presiden untuk mempersilakan kritik, tapi tidak menjamin ruang dan
bentuk ekspresi kritik warga negara," kata Koordinator KontraS Fatia
Maulidiyanti, dalam keterangan tertulis, Selasa, 14 September 2021.
Dari pantauan KontraS, kebebasan berekspresi baik luring
maupun daring, kerap menimbulkan reaksi cepat terutama dari aparat negara,
kepolisian untuk memanggil, menangkap, meminta keterangan seseorang di kantor
kepolisian.
Sejak Januari 2021, mereka mencatat sedikitnya 26 kasus yang
merupakan bagian dari pembatasan kebebasan berekspresi. Mulai dari penghapusan
mural, perburuan pelaku dokumentasi, persekusi pembuat konten, penangkapan
terkait UU ITE, penangkapan kritik kebijakan PPKM, hingga penangkapan pada
beberapa orang yang membentangkan poster guna menyampaikan aspirasinya di depan
presiden.
Sepanjang Juli – Agustus 2021, setidaknya terdapat 13 kasus
persekusi kepada muralist. Lalu sepanjang Januari – Juli 2021, KontraS juga
mencatat mencatat 13 kasus penangkapan sewenang-wenang yang terdiri dari 8
kasus penangkapan UU ITE terkait dengan 2 penangkapan isu kinerja institusi, 1
isu mengenai kritik institusi, 2 isu mengenai Papua, dan 3 isu mengenai kinerja
pejabat.
Ada juga 2 kasus penangkapan sewenang-wenang terkait kritik
terhadap PPKM, dan yang terakhir adalah 3 penangkapan terkait kritik kinerja
kepada pejabat. Terakhir, terjadi penangkapan 10 mahasiswa Universitas Sebelas
Maret (UNS) yang membentangkan poster berisikan kritik pada Jokowi.
"Hal ini menunjukkan bahwa Negara tidak memberikan ruang
ekspresi kritik warga negara terhadap kondisi yang dialami atau merespons sikap
negara atas kebijakan tertentu," kata Fatia.
Atas dasar itu, Fatia mendesak Jokowi untuk menjamin tiap
bentuk ruang dan ekspresi kritik warga negara. Hal ini bisa dilakukan dengan
memberikan arahan tegas kepada alat negara untuk tidak mudah membungkam segala
bentuk ekspresi warga negara.
KontraS juga mendesak Kapolri untuk memerintahkan jajaran di
bawahnya untuk tidak melakukan tindakan sewenang-wenang dalam upaya menyikapi
kebebasan berpendapat dan berekspresi oleh masyarakat. Ia meminta negara
melalui Polri maupun TNI mengedepankan prinsip hukum dan HAM, menggunakan
cara-cara yang bermartabat dalam merespon persoalan kebebasan berpendapat dan
berekspresi di Indonesia.
"Pendekatan keamanan, seperti penangkapan
sewenang-wenang, kritik berujung UU ITE, pembungkaman, dan lain-lain justru akan
semakin mencederai upaya penyampaian kritik yang dilakukan oleh masyarakat yang
dapat mengakibatkan timbulnya ketidakpercayaan pada pemerintahan," kata
Fatia. (tempo)