SANCAnews – Sikap politik Presiden Joko Widodo
terkait wacana amandemen UUD 1945 dan penambahan masa jabatan presiden sudah
tegas menolak. Terlebih, amandemen UUD 1945 bukan kewenangan eksekutif
melainkan MPR RI.
Demikian disampaikan Jurubicara Presiden, Fadjroel Rachman
saat menjadi narasumber dalam diskusi daring Polemik bertajuk "Amandemen
UUD 1945, Untuk Apa?" pada Sabtu siang (11/9).
"Sudah jelas (amandemen) ini memang domainnya MPR. Nah,
pemerintah tidak ada urusannya, pemerintah atau eksekutif itu tidak ada punya
wewenang, bukan domainnya kami," kata Fadjroel.
Fadjroel kembali menegaskan, pemerintah selaku eksekutif
tidak tahu-menahu terkait amandemen berikut isinya, entah itu akan membahas
Pokok Pokok Haluan Negara (PPHN) ataupun di dalamnya ada macam-macam tambahan.
Namun begitu, Fadjroel menyatakan, lantaran isunya agak
meluas hingga ada pembicaraan perpanjangan masa jabatan tiga periode, maka
pemerintah terpaksa turun tangan untuk menjelaskan itu semua.
"Ini tidak untuk mencampuri agendanya MPR ya. Kami hanya
mengatakan sikap politik Presiden Jokowi bahwa beliau setia pada UUD 45,
khususnya Pasal 7 yang mengatakan presiden dan wakil presiden memegang
jabatannya selama 5 tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan
yang sama hanya untuk satu kali masa jabatan," tuturnya.
Presiden Jokowi juga diklaim akan mematuhi amanat UUD 1946
terkhusus Pasal 7 yang mengatur pembatasan masa jabatan presiden cukup dua
periode. Sebab, Kepala Negara juga tidak mau mengingkari agenda reformasi 1998.
"Jadi, menurut saya clear banget ini," pungkasnya.
Selain Jubir Presiden, hadir narasumber lain dalam diskusi daring tersebut yakni Pakar Hukum Tata Negara UGM, Zainal Arifin Mochtar; anggota MPR RI fraksi PKS, Hidayat Nur Wahid; dan anggota DPD RI, Abdul Rachman Thaha. (rmol)