SANCAnews – Penegakan hukum terhadap pelanggar
protokol kesehatan Covid-19 menimbulkan ketimpangan. Hal itu dibicarakan publik
lantaran kerumunan yang tercipta dalam beberapa kunjungan kerja Jokowi tidak
pernah diusut, dan berbeda dengan kejadian lainnya oleh pihak lain.
Bahkan, beberapa pihak baru-baru ini menyebutkan,
ketidakadilan hukum penegakan protokol kesehatan sangat nampak dari tidak
diprosesnya pelanggaran berupa kerumunan dalam kujungan kerja Presiden Joko
Widodo ke Cirebon, pada Selasa (31/8).
Sementara di sisi yang lain, tindakan hukum berbeda dilakukan
karena terciptanya kerumunan dalam acara tabligh akbar di Mega Mendung, yang
telah menjerat dan memvonis bekas Imam Besar Front Pembela Islam (FPI), Habib
M. Rizieq Shihab, hukuman kurungan penjara 4 tahun.
Persoalan ini juga ikut ditanggapi Aktivis Hak Asasi Manusia
(HAM), Natalisu Pigai, dalam diskusi series tanya jawab Cak Ulung yang
disiarkan kanal Youtube Kantor Berita Politik RMOL ada Kamis (2/9).
Mantan Komisioner Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas
HAM) ini menjelaskan beberapa hal di dalam proses penegakan hukum yang nampak
jelas terjadi di lapangan, khususnya yang terkait penegakan protokol kesehatan
Covid-19 berupa kerumunan.
Hal pertama yang dia singgung adalah terkiat dengan peranan
Satuan Tugas (Satgas) Penanganan Covid-19, yang bukan institusi penegak hukum
tapi justru pada beberapa kejadian bertindak di luar kewenangannya.
"Satgas itu adalah Satuan Tugas Covid yang hanya
mengingatkan rakyat untuk melakukan sesuatu yaitu memakai masker, memakai hand
sanitizer, atau jaga jarak antara individu dan jaga jarak antar sosial. Tapi di
Indonesia itu satgas dimaknai sebagai penegak hukum," ucap Pigai dikutip
Sabtu subuh, (4/9).
Sebagi contoh, Pigai membandingkan penegakan hukum yang
dilakukan terhadap Habib Rizieq dengan momen kunjungan kerja Jokowi ke Maumere
beberapa waktu lalu.
"Coba bayangkan, Presiden Jokowi misalnya, datang ke
Maumere. Dia datang ada kerumunan, Presiden Jokowi datang di tengah kerumunan
sudah beberapa kali tapi Satgas tidak mampu mengingatkan sekalipun, tidak bisa
melarang. Rakyat melaporkan pun tidak bisa diproses," tuturnya.
"Sementara Habib Rizieq atau rakyat-rakyat yang lain
yang berada di posisi oposisi, ada kesalahan sedikit justru Satuan Tugas yang
menjadi penegak hukum. Padahal Satgas tugasnya hanya mengigatkan," imbuh
Pigai.
Menurutnya, tidak ada satu pun undang-undang di Republik
Indonesia yang memberikan kewenangan kepada Satgas Covid-19 untuk melakukan
penegakan hukum.
"Penegak hukum itu polisi, jaksa dan hakim. Jadi kalau
ada Satuan Tugas yang melakukan penegakan hukum, maka itu cendrung tidak
adil," katanya.
Dari ketimpangan penegakan hukum tersebut, Pigai berpendapat
bahwa apa yang dialami Habib Rizieq Shihab di tengah pembiaran kerumunan Jokowi
adalah sebuah wujud adanya tekanan oleh pihak-pihak yang berkuasa untuk
menyetir aparat berwenang, dalam hal ini Kepolisian, Kejaksaan dan Kehakiman.
"ada tekanan, oleh pihak2 yang berkuasa, oleh satuan
tugas oleh tim pendukung pemerintah maka penegakan huku tidak akan adil, tidak
akan imbang, tidak akan emngahsilkan proses hukum yang objektifm impasrsial.
"Karena itu, beberapa orang yang ada di posisi oposisi
dan juga mengkitik pemerintah, ada pelanggaran sedikit terkait prokes, itu
(hukum) menjadi alat pemukul," tuturnya.
"Proses hukum yang tidak adil, itu dihasilkan karena palu keadilan dimunculkan sebagai alat pemukul," tegasnya menutup. []