SANCAnews – Menteri Koordinator bidang
Kemaritiman dan Investasi (Menko Marves) Luhut Binsar Pandjaitan 'gerah' saat
disebut memiliki bagian dari perusahaan tambang di Blok Wabu, Papua. Diduga
bukan hanya Luhut, tapi sejumlah nama purnawirawan TNI serta pejabat Badan
Intelijen Negara (BIN) juga disebut dalam lingkaran perusahaan tambang di Bumi
Cenderawasih.
Hal tersebut terkuak dalam laporan "Ekonomi-Politik
Penempatan Militer di Papua: Kasus Intan Jaya”. Laporan tersebut merupakan
hasil kajian yang diluncurkan oleh YLBHI, WALHI Eksekutif Nasional, Pusaka
Bentala Rakyat, WALHI Papua, LBH Papua, KontraS, JATAM, Greenpeace Indonesia,
Trend Asia. Mereka tergabung dalam gerakan BersihkanIndonesia.
Dalam laporan yang juga diunggah melalui situs KontraS.org
seperti dikutip Suara.com Kamis (23/9/2021), dijelaskan terdapat empat
perusahaan yang berkonsentrasi pada pertambangan yakni PT Freeport Indonesia
(IU Pertambangan), PT Madinah Qurrata’Ain (IU Pertambangan), PT Nusapati Satria
(IU Penambangan), dan PT Kotabara Miratama (IU Pertambangan).
Luhut beserta TNI/Polri terdeteksi terkoneksi dengan PT
Freeport Indonesia (PTFI) dan PT Madinah Qurrata’Ain (PTMQ). Bukan hanya Luhut,
namun dari hasil kajian itu juga terungkap ada tiga nama aparat yang diduga
terhubung dengan PTMQ.
Mereka ialah Purnawirawan Polisi Rudiard Tampubolon selaku
komisaris PTMQ, Purnawirawan TNI Paulus Prananto, dan Purnawirawan TNI Luhut
Binsar Panjaitan (LBP).
"Bahkan West Wits Mining (pemegang saham MQ) menganggap bahwa kepemimpinan dan pengalaman Rudiard cukup berhasil menavigasi jalur menuju dimulainya operasi pertambangan," demikian tertulis dalam kajian yang dikutip Suara.com.
Berdasarkan data Darewo River Gold Project, West Wits Mining
membagi sejumlah 30 persen saham kepada PT Tobacom Del Mandiri (TDM) di mana
presiden direkturnya ialah Purnawirawan TNI Paulus Prananto.
West Wits Mining juga menyebut bahwa TDM bertanggung jawab
terkait izin kehutanan dan terkait keamanan akses ke lokasi proyek.
TDM sendiri masih menjadi bagian dari PT Toba Sejahtera
Group, di mana pemilik saham minoritasnya adalah Luhut Binsar Panjaitan. Dua
purnawirawan TNI yang terkait dengan perusahaan MQ, Paulus Prananto dan Luhut
Binsar Panjaitan merupakan anggota tim relawan (Bravo Lima) pemenangan Presiden
Joko Widodo pada 2014 dan 2019.
Selain itu, kajian tersebut juga mengungkap ada lima aparat
militer baik TNI maupun Polri yang terlibat dalam kasus rencana tambang emas di
Blok Wabu.
Lima aparat tersebut sebenarnya berasal dari tiga nama
entitas perusahaan yang berbeda, akan tetapi masih satu payung di bawah
perusahaan BUMN Holding Industri Pertambangan yakni MIND ID.
Saat PT Freeport masih bergabung di Blok Wabu, ada nama
Purnawirawan TNI Hinsa Siburian (HS) sebagai komisaris PTFI.
Hinsa pernah menjabat sebagai Pangdam XVII/Cenderawasih Papua
pada 2015-2017.
"HS juga tercatat tergabung dalam tim relawan (Cakra 19)
pemenangan Presiden Jokowi pada 2019," ungkapnya.
Setelah PT Freeport menarik diri dari Balok Wabu, konsensinya
dikembalikan ke pemerintah Indonesia dan dipegang oleh PT ANTAM.
Di dalam PT ANTAM juga ada dua nama aparat militer yakni
Purnawirawan TNI Agus Surya Bakti dan Komisaris Jenderal Polisi Bambang
Sunarwibowo.
Bambang juga masih aktif menjabat sebagai Sekretaris Utama
Badan Intelijen Negara (BIN).
Sementara itu di MIND ID tercatat nama Purnawirawan TNI Doni
Monardo sebagai Komisaris Utama dan Purnawirawan Muhammad Munir sebagai
Komisaris Independen. Munir juga tercatat sebagai Ketua Dewan Analisa Strategis
BIN.
Kemudian, dalam kajian juga menemukan adanya indikasi
kepentingan ekonomi di balik operasi militer ilegal di Intan Jaya.
Ada yang berasal dari Kopassus bahkan juga ada yang memiliki
pengalaman di BIN.
“Berdasarkan Peraturan Kepolisian 3/2019 tentang Perubahan
Atas Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 13 Tahun 2017
Tentang Pemberian Bantuan Pengamanan Pada Objek Vital Nasional dan Objek
Tertentu, pemberian bantuan pengamanan sebagaimana dilaksanakan berdasarkan
pada permintaan pengelola Obvitnas dan/atau Objek Tertentu," kata Ketua
Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) Asfinawati.
"Oleh karena itu keterlibatan tersebut memperkuat
indikasi adanya konflik kepentingan,” tambahnya. []