SANCAnews – Ambang batas pencalonan atau
presidential threshold adalah sistem yang salah namun disenangi partai politik.
Kesenangan itu, karena adanya upeti atau mahar politik yang diterima dari calon
pemimpin.
Begitu dikatakan begawan ekonomi Rizal Ramli dalam peluncuran
buku karya pemerhati politik M Rizal Fadillah berjudul "Rakyat Menampar
Muka", Kamis (19/8).
Dikatakan Rizal, ambang batas yang dipatok 20 persen, membuat
calon pemimpin mencari dukungan politik yang juga sulit didapatkan hanya dari
satu partai politik.
"Kalau mau jadi bupati, gubernur, presiden harus bisa
dapat dukungan 20 persen suara, biasanya perlu sekitar tiga partai," kata
Rizal.
Lanjutnya, pada setiap tingkatan memiliki ongkos politik yang
berbeda-beda. Termurah, di tingkat bupati dengan biaya minimal Rp 10 miliar per
partai politik.
"Dalam praktiknya, partai-partai ini kan tinggal sewa
aja, misalnya untuk jadi walikota 20 persen (butuh) tiga partai masing-masing
Rp 10-20 miliar, biaya partainya itu 60 miliar, jadi gubernur Rp 100-300 miliar,
jadi presiden di atas Rp 1 triliun," jelasnya.
Bagi Rizal, nominal rupiah yang tidak sedikit itu menjadi
sumber kebahagiaan partai politik dan atas itu juga mengapa ambang batas
pencalonan tetap dipertahankan sekalipun bertentangan dengan konstitusi UUD
1945.
"Partai-partai sangat senang dengan sistem threshold
ini, karena mereka bisa terima upeti, terima setoran tanpa melakukan
apa-apa," katanya.
Hadir pembicara lainnya ekonom Anthony Budiawan, Koordinator Gerakan Indonesia Bersih Adhie Massardi, akademisi Ubedilah Badrun. (rmol)