SANCAnews – Jelang Pemilu 2024, persoalan
calon presiden atau capres, masih mengemuka. Terutama terkait dengan syarat
pengajuan, yang dalam perundang-undangan dianggap terlalu tinggi sehingga
membatasi calon lain untuk ikut berkompetisi di Pilpres 2024.
Pakar Hukum Tata Negara Refly Harun menilai, penerapan
Presidential Treshold (PT) atau ambang batas suara yang diperlukan bagi
seseorang untuk menjadi capres selama ini diterapkan secara tidak fair. Karena
mestinya PT dihitung dari hasil pemilu secara keseluruhan, bukan hanya suara
yang diperoleh partai politik pendukung.
Dalam agenda Executive Brief DPD RI, Refly mengatakan pada
prakteknya presidential treshold hanya diperhitungkan berdasarkan prosentasi
keterwakilan di DPR. Seakan-akan calon presiden itu hanya menjadi jatah partai
politik besar, tanpa mempertimbangkan kemunculan calon berkualitas yang bisa
muncul dari mana saja.
"Saya lebih setuju presidential treshold itu dihapuskan
saja, kapan kita bisa memunculkan kompetisi kepemimpinan yang sehat, termasuk
dari calon perseorangan, jika sistem pemilu kita begitu?" Kata Refly, yang
dikutip Jumat 27 Agustus 2021.
Semestinya, persyaratan pencalonan presiden dan wakil
presiden termasuk close legal policy karena UUD 1945 telah mengatur mengenai
pembatasan atau syarat pencalonan presiden dan wakil presiden. Pasal 6A ayat
(2) UUD 1945 berbunyi, Pasangan calon
presiden dan wakil presiden diusulkan oleh partai politik atau gabungan partai
politik peserta pemilihan umum sebelum pelaksanaan pemilihan umum.
"Dengan demikian, konstitusi telah memberikan hak
konstitusional kepada seluruh partai politik untuk mengusung calon. Tidak perlu
lagi ada klausul presidential treshold," jelas Refly.
Dalam kesempatan pembahasan materi tentang presidential
treshold ini, Wakil Ketua DPD RI, Mahyudin sependapat dengan Refly Harun. Dia menilai
penghapusan presidential treshold ini akan memberikan angin segar bagi masa
depan demokrasi Indonesia kedepan.
"Dimana kompetisi kepemimpinan Nasional akan berlangsung
secara lebih fair dan sehat, rakyat pasti akan mampu memilih yang benar-benar
terbaik karena punya banyak pilihan," ujarnya.
Hal lain yang disoroti Refly Harun adalah kecilnya kewenangan
DPD RI, padahal seharusnya adanya mandat yang besar dari rakyat juga harus
diimbangi dengan kewenangan yang besar pula. Seharusnya DPD RI diberikan fungsi
menentukan serta fungsi persetujuan dalam pembentukan undang-undang.
Saat ini kedua fungsi tersebut tidak diberikan kepada DPD,
karena pada prakteknya telah terjadi subordinasi oleh DPR yang notebene
merupakan lembaga yang kedudukannya sejajar dalam sistem bikameral yang
diamanatkan konstitusi.
"Dalam proses legislasi, peran DPD RI dibatasi hanya sampai tahap pembahasan Rancangan Undang-Undang, itupun DPD RI hanya dianggap sebagai satu fraksi saja, bukan sebagai bicameral function", ujar Refly. (viva)