SANCAnews – Mural-mural yang dijadikan sebagai sarana kritik publik terhadap pemerintah merupakan ciri negara demokrasi. Sehingga kontroversi mengenai mural kritik hanya menunjukkan buruknya kondisi kesehatan demokrasi di Indonesia.

 

Begitu kiranya yang disampaikan oleh dua peneliti Institute for Criminal Justice Reform (ICJR), Maidina Rahmawati dan Erasmus AT Napitulu, lewat tulisan berjudul "Mural controversies expose the poor health of Indonesian democracy" yang diunggah di halaman Indonesia at Melbourne di situs University of Melbourne, Australia.

 

Halaman Indonesia at Melbourne berisi berbagai tulisan dari para akademisi dan mahasiswa pascasarjana yang berafiliasi dengan Universitas Melbourne. Berbagai opini yang disajikan bukan pendapat dari Universitas Melbourne sendiri.

 

Dalam tulisannya, Maidina dan Erasmus menyoroti kontroversi yang terjadi selama beberapa pekan terakhir di tanah air ketika setidaknya tiga mural kritik publik terhadap pemerintah dihapus.

 

Mural pertama dan paling kontroversial adalah gambar wajah Presiden Joko Widodo dengan mata yang ditutupi tulisan "404: Not Found" di Tangerang, Banten. Dua mural lainnya merupakan tulisan "Dipaksa Sehat di Negara yang Sakit" di Pasuruan, Jawa Timur, dan "Tuhan Aku Lapar" di Tangerang.

 

Kemunculan mural-mural itu membuat polisi beraksi dengan mengejar para seniman atau saksi. Mereka juga menghapus mural-mural kritik itu. Tindakan itu lantas memicu kritik lebih tajam dari publik karena dianggap telah menekan kebebasan berekspresi.

 

Banyak orang menganggap tindakan itu menggemakan Orde Baru era Soeharto yang otoriter. Padahal sejak 1998, Indonesia telah menjamin kebebasan berekspresi dari Pasal 28E (3) UUD 1945, pasal 23 (2) UU 39/1999, dan Pasal 19 UU 12/2005.

 

Mengganggu Ketertiban Umum

 

Polisi berdalih, tindakannya merupakan bagian dari penegakkan ketertiban umum. Tetapi Maidina dan Erasmus mengatakan, jika ketertiban umum yang menjadi persoalan, maka yang harus turun adalah Satpol PP, bukan polisi.

 

Pencemaran Nama Baik

 

Dalam kesempatan lain, polisi mengatakan pembuat mural dapat didakwa dengan tuduhan pencemaran nama baik presiden sebagai simbol negara berdasarkan Pasal 207 KUHP. Namun ketentuan KUHP terkait pencemaran nama baik presiden telah dicabut oleh Mahkamah Konstitusi pada 2006.

 

"Saat itu, Mahkamah (Konstitusi) menekankan bahwa kriminalisasi pencemaran nama baik terhadap presiden tidak lagi relevan bagi masyarakat demokratis, di negara yang menjunjung tinggi hak asasi manusia," tulis mereka.

 

Mahkamah Konstitusi juga menyatakan bahwa presiden sebagai kepala negara tidak boleh mendapat perlakuan istimewa di mata hukum. Perlakuan khusus untuk presiden hanya dibatasi pada protokol kepresidenan.

 

Selain itu, pernyataan presiden sebagai "simbol negara" tidak sesuai dengan UU 24/2009. UU itu menyebut simbol negara adalah bendera negara, bahasa negara, lambang negara, dan lagu kebangsaan.

 

Jika mengacu pada Pasal 207 KUHP mengenai pencemaran nama baik otoritas atau badan publik, Mahkamah Konstitusi pada 2006 juga menyatakan dakwaan hanya dapat diajukan setelah ada pengajuan dari pihak yang dirugikan.

 

"Ini juga berarti bahwa kecuali individu yang dihina membuat pengaduan resmi kepada polisi, mereka tidak dapat menuntut pencipta mural mana pun berdasarkan pasal ini," tambah mereka.

 

Ujaran Kebencian

 

Penggunaan Pasal 28 (2) UU ITE terkait penyebaran informasi yang memicu kebencian dan permusuhan juga dinilai Maidina dan Erasmus kurang tepat.

 

"Alih-alih menggunakan pasal tersebut untuk melindungi kelompok minoritas yang rentan, polisi kini tampaknya lebih peduli untuk melindungi pejabat publik dari segala jenis kritik," terang mereka.

 

Mural, kata mereka, merupakan alat untuk menyuarakan kritik di Indonesia sejak masa revolusi. Sehingga penggunaan mural untuk kritik setelah Orde Baru runtuh merupakan bentuk ekspresi yang sah. Terlebih saat ini publik dibuat resah dengan penanganan pandemi Covid-19 oleh pemerintah.

 

"Tindakan represif polisi hanyalah indikasi lain dari kesehatan demokrasi Indonesia yang semakin menurun," kata keduanya.

 

Berdasarkan Indeks Demokrasi dari Economist Intelligence Unit (EIU) pada awal tahun ini, posisi Indonesia turun ke-64, menjadi terendah dalam 14 tahun terakhir. (rmol)


Label:

SN

{picture#} YOUR_PROFILE_DESCRIPTION {facebook#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {twitter#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {google#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {pinterest#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {youtube#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL} {instagram#YOUR_SOCIAL_PROFILE_URL}
Diberdayakan oleh Blogger.