SANCAnews – Pimpinan Pusat (PP) Muhammadiyah
menyampaikan surat terbuka kepada Presiden Joko Widodo (Jokowi) terkait asesmen
tes wawasan kebangsaan (TWK) sebagai syarat peralihan status pegawai Komisi
Pemberantasan Korupsi (KPK) menjadi aparatur sipil negara (ASN).
Dalam surat terbuka itu, PP Muhammadiyah meminta Jokowi untuk
membatalkan asesmen TWK menyusul temuan Ombudsman RI dan Komnas HAM mengenai
pelanggaran dalam pelaksanaan TWK pegawai KPK.
Surat terbuka itu diteken oleh Ketua PP Muhammadiyah Bidang
Hukum, HAM, dan Kebijakan Publik M Busyro Muqoddas. Ada tiga poin tuntutan
Muhammadiyah kepada presiden dalam surat tersebut.
"Rekomendasi Ombudsman Republik Indonesia, laporan
Komnas HAM mengenai hasil pemantauan dan penyelidikan atas dugaan pelanggaran
HAM pada asesmen TWK dalam proses alih status pegawai KPK, semakin menguatkan
adanya dugaan upaya bentuk penyingkiran terhadap pegawai tertentu dengan latar
belakang tertentu," bunyi surat tersebut dalam alinea pembukaan, dikutip
Kamis (19/08/2021).
Oleh karena itu, PP Muhammadiyah menyampaikan pendapatnya
sebagai bentuk partisipasi masyarakat sipil dan tanggung jawab moral dalam
kehidupan berbangsa dan bernegara kepada Presiden Jokowi.
Pertama, Jokowi merupakan Presiden RI yang menjabat sebagai
kepala negara dan Kepala pemerintahan serta pejabat pembina kepegawaian
tertinggi, harus mengambil alih proses alih status pegawai KPK serta
membatalkan hasil asesmen TWK.
Kedua, Presiden Jokowi juga harus memulihkan nama baik 75
pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat (TMS) yang telah distigma
dengan pelabelan identitas tertentu. Muhammadiyah juga meminta Presiden mengangkat
Novel Baswedan Cs atau 75 pegawai KPK yang dinyatakan TMS.
"Sekaligus ini merupakan bentuk komitmen Presiden
terhadap pemberantasan korupsi di Indonesia," tulis surat tersebut.
Muhammadiyah menyatakan hal tersebut juga merupakan
rekomendasi dari Ombudsman dan Komnas HAM yang menyatakan adanya dugaan
malaadministrasi dan pelanggaran HAM dalam pelaksanaan TWK.
Ketiga, Muhammadiyah menilai asesmen TWK tidak sepenuhnya
menjalankan perintah UU Nomor 19 tahun 2019, PP Nomor 41 tahun 2020, dan
pengabaian arahan Presiden Republik Indonesia yang telah disampaikan secara
terbuka di hadapan masyarakat. Selain itu, pelaksana TWK tidak menjadikan
Putusan MK Nomor 70/PUU-XVII/2019 sebagai pertimbangan dalam alih status
pegawai KPK jelas merupakan pengabaian kontitusi.
"Dengan demikian secara tegas Presiden harus mengevaluasi serta mengambil langkah yang dianggap perlu kepada pimpinan kementerian atau lembaga yang terlibat dalam asesmen TWK pegawai KPK, dikarenakan telah mengabaikan prinsip-prinsip profesionalitas, transparansi, akuntabilitas, serta tidak memenuhi asas keadilan yang sesuai dengan standar hak asasi manusia," tulis poin ketiga surat tersebut. (lawjustice)